Jumat, 12 September 2014

PERDARAHAN POST PARTUM




A.    Pengertian
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500cc  yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1000 ml setelah persalinan abdominal. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesakitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai  perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan perubahan tanda vital.
B. Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu :
1.      Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2.      Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
C.    Insidensi
            Berdasarkan dari laporan-laporan baik dinegara maju maupun dinegara berkembang angka kejadian berkisar 5% sampai 15%. Berdasarkan penyebab diperoleh gambaran sebagi berikut :
1.      Atonia uteri 50-60%
2.      Sisa plasenta 23-24%
3.      Retensio plasenta 16-17%
4.      Laserasi jalan lahir 4-5 %
5.      kelainan darah 0,5-0,8%
D.    Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain:
1.      Atonia uteri
a.      Pengertian
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan.Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya hipovolemik.
b.      Etiologi
Overdistensi uterus, baik absolute maupun relative, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosemia, polihidramnion atau abnormalitas janin, kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah diuterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir. Lemahnya kontraksi miometrium  merupakan akibat dari   riwayat anemia selama kehamilan, kelelahan karena persalinan lama  atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi.
c.       Faktor Risiko Atonia Uteri
Penilaian faktor risiko perdarahan postpartum pada wanita sangat penting dalam mengidentifikasi terjadinya peningkatan risiko atonia uteri, sehingga memungkinkan untuk tindakan preventif, adanya faktor risiko perdarahan postpartum meningkatkan risiko perdarahan 2 - 4 kali lipat dibandingkan dengan wanita tanpa faktor risiko. Dengan demikian wanita yang memiliki faktor risiko harus persalinan di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai untuk mengelola perdarahan postpartum. Namun, perlu dicatat bahwa kejadian atonia uteri  tak dapat diprediksi  pada wanita yang tidak mempunyai faktor risiko. Sehingga  diperlukan protokol yang ketat untuk pengelolaan perdarahan postpartum di tempat yang menyediakan perawatan kebidanan.  Faktor –faktor predisposisi terjadinya atonia uteri:
1)      Uterus yang teregang berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar (BB > 4000 gram) dan polihidramnion;
2)      Kehamilan lewat waktu;
3)      Partus lama;
4)      Grande multipara;
5)      Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat);
6)      Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia );
7)      Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta);
8)      Riwayat perdarahan postpartum;
9)      Obesitas;
10)  Umur > 35 tahun;
11)  Tindakan operasi dengan anestesi terlalu dalam.

d.      Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Manajemen aktif kala III terdiri atas intervensi yang direncanakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus dan untuk mencegah perdarahan postpartum dengan menghindari atonia uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan Manajemen aktif kala III, yaitu:
1)      Memberikan obat oksitosin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir;
2)      Melakukan penegangan tali pusat terkendali;
3)      Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap berkontraksi.
e.       Manajemen Atonia Uteri
1)      Manajemen Standar
a)      Masase Uterus
Masase uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas yang  lembut berulang-ulang dengan satu tangan pada perut bagian bawah untuk merangsang uterus berkontraksi. Hal ini diyakini bahwa gerakan berulang seperti  ini akan merangsang produksi prostaglandin dan menyebabkan kontraksi uterus dan mengurangi kehilangan darah, meskipun hal ini akan mengakibatkan  ketidaknyaman atau bahkan menyakitkan 14. Secara keseluruhan, masase uterus tampaknya memiliki beberapa keuntungan dari segi kehilangan darah ibu 14.

2)      Kompresi Uterus Bimanual
a)      Kompresi Bimanual Eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar, bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal
b)     Kompresi Bimanual Internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi aorta abdominalis
3)      Kompresi Aorta Abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi
4)      Pemberian Uterotonika
a)      Oksitosin
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara im atau iv, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal. Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan .
Dengan menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu, mayoritas wanita dengan atonia uterus dapat menghindari intervensi bedah. Stimulasi kontraksi uterus biasanya dicapai dengan pemijatan uterus bimanual dan injeksi oksitosin (baik secara intramuskuler atau intravena), dengan atau tanpa ergometrine. oksitosin melibatkan stimulasi dari segmen uterus bagian atas untuk kontraksi  secara ritmik. Karena oksitosin  mempunyai half-life dalam plasma pendek (rata-rata 3 menit), infus intravena secara kontinu diperlukan untuk menjaga uterus berkontraksi . Dosis biasa adalah 20 IU dalam 500 ml larutan kristaloid, dengan tingkat dosis disesuaikan dengan respon (250 ml / jam). Ketika diberikan secara intravena, puncak konsentrasi dicapai setelah 30 menit. Sebaliknya, jika  diberikan secara intramuskular mempunyai onset yang lebih lambat (3-7 menit) tetapi efek klinis berlangsung lama (hingga 60 menit) .
b)     Methyl Ergometrine
Berbeda dengan oksitosin, ergometrine menyebabkan  kontraksi tonik yang terus menerus melalui stimulasi reseptor α-adrenergik miometrium terhadap kedua segmen bagian atas dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk berkontraksi secara tetanik. Suntikan intramuskular dosis standar 0,25 mg dalam permulaan aksi 2-5 menit. Metabolismenya melalui rute  hepar dan half-life nya dalam plasma adalah 30 menit. Meskipun demikian, dampak klinis dari ergometrine berlangsung selama sekitar 3 jam. Respon oksitosin segera dan ergometrine  lebih berkelanjutan 15.
c)      Misoprostol
Misoprostol adalah suatu analog sintetik prostaglandin E1 yang mengikat secara selektif untuk reseptor prostanoid EP-2/EP-3 miometrium, sehingga meningkatkan kontraktilitas uterus. Hal ini dimetabolisme melalui jalur hepar. Ini dapat diberikan secara oral, sublingual, vagina, dubur atau melalui penempatan intrauterin langsung. pemberian melalui rektal  terkait dengan tindakan awal, tingkat puncak yang lebih rendah dan profil efek samping yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan rute oral atau sublingual. Misoprostol oral sebagai agent profilaksis untuk partus kala III menunjukkan kurang efektif untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan pemberian  oksitosin parenteral. Namun, karena kenyataan bahwa interval waktu Misoprostol lebih lama yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak serum dapat membuatnya menjadi agen lebih cocok untuk perdarahan uterus yang  berkepanjangan, dan dalam perannya sebagai terapi bukan agen profilaksis 15.
                        (R.Forte, 2010)
f.       Prognosis Atonia Uteri
Seperti dikatakan oleh Tadjuludin (1965):” perdarahan postpastum masih merupakan ancaman yang tidak terduga; walaupun dengan pengawasan yang sebaik-baiknya, perdarahan postpastum masih merupakan salah satu sebab kematian ibu yang penting”. Sebaliknya menurut pendapat para ahli kebidanan modern: perdarahan postpartum tidak perlu membawa kematian pada ibu bersalin. Pendapat ini memang benar bila kesadaran masyarakat tentang hal ini sudah tinggi dan dalam klinik tersedia banyak darah dan cairan serta fasilitas lainnya. Tingginya angka kematian ibu karena banyak penderita yang dikirim dari luar dengan keadaan umum yang sangat jelek dan anemis dimana tindakan apapun kadang-kadang tidak menolong.
2.      Sisa Plasenta
a.      Pengertian
Suatu bagian dari plasenta,satu atau lebih lobus tertinggal di dalam uterus
(Sarwono Prawiroharjo,2002;M.31)
b.      Penyebab
1)      his yang kurang baik
2)      Tindakan pelepasan plasenta yang salah
3)      Plasenta akreta
c.       Prinsip Dasar
Sisa plasenta yang masih banyak tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan post partum dini atau perdarahan post partum lambat (biasanya terjadi 6-10 hari). Pada perdarahan post partum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik.gejala pada post partum lambat yaitu perdarahan yang berulang ulang atau berlangsung terus. (Dr. H. Surono,1997;33)

d. Penanganan Sisa plasenta
a)      pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dg kuretase.Kuretase harus dilakukan secara hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan kuretase pada abortus.
b)      Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta dilanjutkan dg pemberian obat uterustonika melalui suntikan atau per oral.
c)      Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
Apabila diagnosa sisa plasenta ditegakkan maka bidan boleh melakukan pengeluaran sisa plasenta secara manual atau digital, dg langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Perbaikan keadaan umum ibu (pasang infus)
2.      Kosongkan kandung kemih
3.      memakai sarung tangan steril
4.      desinfeksi genetalia eksterna
5.      tangan kiri melebarkan genetalia eksterna,tangan kanan dimasukkan secara obstetri sampai servik.
6.      lakukan eksplorasi di dalam cavum uteri untuk mengeluarkan sisa plasenta
7.      lakukan pengeluaran plasenta secara digital
8.      setelah plasenta keluar semua diberikan injeksi uterus tonika
9.      berikan antibiotik utk mencegah infeksi
10.  observasi tanda-tanda vital dan perdarahan
e. . Sikap Bidan
Bidan hanya diberi kesempatan utk melakukan pelepasan sisa plasenta dengan manual atau digital dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan.Bila dengan cara tersebut tidak bisa teratasi,pasien segera dirujuk.
(Prof.Dr.Rustam Mochtar,1997,338)
.

f. Hal-hal Yang dilakukan Bila Penanganan Digital
1)      jika perdarahan masih segera dilakukan utero vagina tamponade selama 24 jam,diikuti pemberian uterus tonika dan antibiotika selama 3 hari berturut-turut dan pada hari ke 4 baru dilakukan kuretase utk membersihkannya.
2)      Keluarkan sisa plasenta dg cunam ovum atau kuret besar. Jaringan yg melekat dg kuat mungkin merupakan plasenta akreta. Usaha utk melepaskan plasenta terlalu kuat melekatnya dapat mengakibatkan perdarahan hebat atau perforasi uterus yang biasanya membutuhkan tindakan histerektomi.
(S.prawiroharjo, 2002 ; 29)
g.      Komplikasi Tindakan
1)      Perforasi tindakan
2)      Infeksi
3)      perdarahan

3.      Retensi Plasenta
a.      Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir2. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus
b.     Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
1)      Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2)      Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai sebagian lapisan miometrium
3)      Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/melewati lapisan miometrium
4)      Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
5)      Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri
Tabel 1: Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta
Gejala
Separasi / akreta parsial
Plasenta inkarserata
Plasenta akreta
Konsistensi uterus
Kenyal
Keras
Cukup
Tinggi fundus
Sepusat
2 jari bawah pusat
Sepusat
Bentuk uterus
Diskoid
Agak globuler
Diskoid
Perdarahan
Sedang-banyak
Sedang
Sedikit/tidak ada
Tali pusat
Terjulur sebagian
Terjulur
Tidak terjulur
Ostium uteri
Terbuka
Konstriksi
Terbuka
Separasi plasenta
Lepas sebagian
Sudah lepas
Melekat seluruhnya
Syok
Sering
Jarang
Jarang sekali
c.       Penatalaksanaan
1)      Retensio plasenta dengan separasi parsial
a)      Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil
b)      Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
c)      Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri).
d)     Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
e)      Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
f)       Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria / oral).
g)      Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik
2)      plasenta inkarserata
a)      Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan.
b)      Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan konstriksi serviks dan melahirkan plasenta.
c)      Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut.
d)     Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah
Manuver sekrup:
·         Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak dengan jelas.
·         Jepit porsio dengan klem ovarium pada jam 12, 4 dan 8 kemudian lepaskan spekulum.
·         Tarik ketiga klem ovarium agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak lebih jelas.
·         Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten untuk memegang klem tersebut.
·         Lakukan hal yang sama untuk plasenta pada sisi yang berlawanan
·         Satukan kedua klem tersebut kemudian sambil diputar searah jarum jam, tarik plasenta keluar perlahan-lahan melalui pembukaan ostium
e)      Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan. Tambahan pemantauan yang diperlukan adalah pemantauan efek samping atau komplikasi dari bahan-bahan sedatif, analgetika atau anestesi umum misal: mual, muntah, hipo/atonia uteri, pusing/vertigo, halusinasi, mengantuk
3)      Plasenta akreta
a)      Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam
b)       Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif
(Rustam Mochtar, Dr. Amru Sofian, 2011)
4.Laserasi Jalan Lahir
a.      Klasifikasi
Ruptura perineum dan robekan dinding vagina Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam.
Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum
Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital
Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan Robekan serviks
b. Faktor Resiko
1) Makrosomia
2) Malpresentasi
3) Partus presipitatus
4) Distosia bahu
c. Penatalaksanaan
1)      Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
a)      Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan.
b)      Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic
c)      Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap.
d)     Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator
e)      Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb:
·         Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung robekan
·         Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa, menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0
·         Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur
·         Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler.
·         Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas
2)      Robekan serviks
a)      Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi.
b)      Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
c)      Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
d)     Setelah tindakan, periksa tanda vital psien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan
e)      Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
f)       Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%, berikan transfusi darah

5.Kelainan Darah

a.      Pengertian
b.      Tanda gejala
c.       Etiologi

Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan. Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak terdiagnosis.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC.
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time).
d.      Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia. Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang mendasari dan kelainan hemostatik.
Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati dilusional. Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifat sangat esensial. Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus transfusi masif dan koagulopati.
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 – 10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 – 50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh trombosit hanya 3 – 4 hari.
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen, dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.

6. Rufture Uteri
a. Epidemiologi
Terjadinya ruptur uteri pada seseorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan anak karena ruptur uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita jumpai di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Asia dan Afrika. Angka ini dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas pengangkutan yang memadai dari daerah-daerah perifer dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan faktor yang penting.
Frekwensi ruptur uteri di rumah sakit- rumah sakit besar di Indonesia berkisar antara 1:92 sampai 1:294 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju (antara 1:1250 dan 1:2000 persalinan). Hal ini disebabkan karena rumah sakit –rumah sakit di Indonesia menampung banyak kasus darurat dari luar.
Ibu-ibu yang telah mengalami pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna lagi dan perasaan takut dicerai oleh suaminya. Oleh karena itu diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting.

b.      Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1)      Ruptur Uteri Gravidarum
Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
2)      Ruptur Uteri Durante Partum
Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.
Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1)       Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
2)        Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri.
3)      Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
4)      Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.
Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:
1)      Ruptur Uteri Kompleta
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), sehingga terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis.
2)      Ruptur Uteri Inkompleta
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum.

Menurut etiologinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1)       Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta secara manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang rudimenter dan graviditas interstisialis, kelainan kongenital dari uterus seperti hipoplasia uteri dan uterus bikornus, penyakit pada rahim, misalnya mola destruens, adenomiosis dan lain-lain atau pada gemelli dan hidramnion dimana dinding rahim tipis dan regang.
2)      Karena peregangan yang luar biasa dari rahim, misalnya pada panggul  sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan grandemultipara. Juga dapat karena kelainan kongenital dari janin : Hidrosefalus, monstrum, torakofagus, anensefalus dan shoulder dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan presentasi rangkap; atau malposisi dari kepala : letak defleksi, letak tulang ubun-ubun dan putar paksi salah. Selain itu karena adanya tumor pada jalan lahir; rigid cervix: conglumeratio cervicis, hanging cervix, retrofleksia uteri gravida dengan sakulasi; grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau juga pimpinan partus yang salah.
Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti:
·         Ekstraksi Forsep
·         Versi dan ekstraksi
·         Embriotomi
·         Versi Braxton Hicks
·         Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
·         Manual plasenta
·         Kuretase
·         Ekspresi Kristeller atau Crede
·         Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
·         Trauma tumpul dan tajam dari luar.
Menurut Gejala Klinis, ruptur uteri dapat dibedakan:
1)      Ruptur Uteri Iminens (membakat=mengancam)
2)      Ruptur Uteri sebenarnya.

c.       Etiologi
Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau anomali yang sudah ada sebelumnya, atau dapat menjadi komplikasi dalam persalinan dengan uterus yang sebelumnya tanpa parut.
Akhir-akhir ini, penyebab ruptur uteri yang paling sering adalah terpisahnya jaringan parut akibat seksio sesarea sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan semakin sering terjadi bersamaan dengan timbulnya kecenderungan untuk memperbolehkan partus percobaan pada persalinan dengan riwayat seksio sesarea.
Faktor predisposisi lainnya yang sering ditemukan pada ruptur uteri adalah riwayat operasi atau manipulasi yang mengakibatkan trauma seperti kuretase atau perforasi. Stimulasi uterus secara berlebihan atau kurang tepat dengan oksitosin, yaitu suatu penyebab yang sebelumnya lazim ditemukan, tampak semakin berkurang. Umumnya, uterus yang sebelumnya tidak pernah mengalami trauma dan persalinan berlangsung spontan, tidak akan terus berkontraksi dengan kuat sehingga merusak dirinya sendiri.

d.      Mekanisme Terjadinya Ruptur Uteri
Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: Korpus uteri dan servik uteri. Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila kehamilan sudah kira-kira ± 20 minggu, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk SBR ismus ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dariBandl. Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari diatas simfisis, bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptur uteri mengancam. Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari uterus. Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti karena adanya lokus minoris resistens
Rumus mekanisme terjadinya ruptur uteri:
R = H + O
Dimana:        R = Ruptur
H = His Kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat), maka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis. Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi. Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring apparatus untuk memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum latum, ligamentum sacrouterina dan jaringan parametra.

e.       Diagnosis dan gejala klinis
Terlebih dahulu dan yang terpenting adalah mengenal betul gejala dari ruptura uteri mengancam (threatened uterine rupture) sebab dalam hal ini kita dapat bertindak secepatnya supaya tidak terjadi ruptur uteri yang sebenarnya.
Gejala Ruptur Uteri Iminens/mengancam :
·         Dalam anamnesa dikatakan telah ditolong/didorong oleh dukun/bidan, partus sudah    lama berlangsung.
·         Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut.
·         Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
·         Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
·         Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
·         His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
·         Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras terutama sebelah kiri atau keduanya.
·         Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
·         Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan SBR yang semakin tipis dan teregang. Sering lengkaran bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang penuh, untuk itu dilakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa, misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.
·         Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi ada hematuri.
·         Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia)
·         Pada pemriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi, seperti oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.

f.       Gejala Ruptur Uteri
Bila ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan terjadilah ruptur uteri sebenarnya.
1.) Anamnesis dan Inspeksi
·         Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
·          Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
·         Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
·         Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak terukur.
·         Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan lahir.
·         Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan dibahu.
·         Kontraksi uterus biasanya hilang.
·         Mula-mula terdapat defans muskulaer kemudian perut menjadi kembung dan meteoristis (paralisis usus).
2.) Palpasi
·         teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan.
·         Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas panggul.
·         Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut, maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan disampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
·         Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
3.) Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga perut.
4.) Pemeriksaan Dalam
·         Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah dapat didorong ke atas dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak
·         Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan kita yang didalam kita temukan dengan jari luar maka terasa seperti dipisahkan oleh bagian yang tipis seklai dari dinding perut juga dapat diraba fundus uteri.
5.) Kateterisasi
Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.
6.) Catatan
·         Gejala ruptur uteri inkompleta tidak sehebat kompleta
·         Ruptur uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus yang biasanya tidak didahului oleh ruptur uteri mengancam.
·         Lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti dan hati-hati sebagai kerja rutin setelah mengerjakan suatu operative delivery, misalnya sesudah versi ekstraksi, ekstraksi vakum atau forsep, embriotomi dan lain-lain.

g.      Ruptur Uteri Traumatik 1
Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari luar. Yang lebih sering terjadi adalah ruptur uteri yang dinamakan ruptur uteri violenta.
Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptur uteri. Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut diatas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptur uteri. Gejala-gejala ruptur uteri violenta tidak berbeda dari ruptur uteri spontan.

h.      Ruptur Uteri pada Parut Uterus
Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea, peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma (miomektomi) dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi ssesudah seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta.
Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika arteria besar luka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok, janin dalam uterus meninggal pula.

i.        Profilaksis
Banyak kiranya ruptur uteri yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau sekiranya ada pengertian dari para ibu, masyarakat dan klinisi, karena sebelumnya dapat kita ambil langkah-langkah preventif. Maka, sangatlah penting arti perawatan antenatal (prenatal).
1)       Panggul sempit atau CPD
Anjurkan bersalin di rumah sakit. Lakukan pemeriksaan yang teliti misalnya kalau kepala belum turun lakukan periksa dalam dan evaluasi selanjutnya dengan pelvimetri. Bila panggul sempit (CV 8 cm), lakukan segera seksio sesarea primer saat inpartu.
2)      Malposisi Kepala
Coba lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tak berhasil, pikirkan untuk melakukan seksio sesarea primer saat inpartu.
3)      Malpresentasi
Letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4)      Hidrosefalus
5)      Rigid cervix
6)      Tetania uteri
7)      Tumor jalan lahir
8)      Grandemultipara + abdomen pendulum
9)      Pada bekas seksio sesarea
Beberapa sarjana masih berpegang pada diktum : Once a Caesarean always a Caesarean, tetapi pendapat kita disini adalah Once a Caesarean not necessarily a Caesarean, kecuali pada panggul yang sempit. Hal ini disebut Repeat Caesarean Section. Pada keadaan dimana seksio yang lalu dilakukan korporal pasien harus bersalin dirumah sakit dengan observasi yang ketat dan cermat mengingat besarnya kemungkinan terjadi ruptur spontan. Kalau perlu lakukan segera repeat c section. Pasien seksio sesaria dengan insisi SBR dibandingkan dengan korporal menurut statistik kemungkinan terjadinya ruptur relatif kecil, Namun demikian partus harus dilakukan di RS dan kalau kepala sudah turun lakukan ekstraksi forsep.
10)  Uterus cacat karena miomektomi, kuretase, manual uri, maka dianjurkan bersalin di RS dengan pengawasan yang teliti.
11)  Ruptur uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara lege artis, jangan melakukan tindakan kristaller yang berlebihan, bidan dilarang memberikan oksitocin sebelum janin lahir, kepada dukun diberikan penataran supaya waktu memimpin persalinan jangan mendorong-dorong, karena dapat menimbulkan ruptura uteri traumatika.
j.        Penanganan
Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia, dan pada wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau pembedahan lain pada uterus. Pada distosia harus diamati terjadinya regangan segmen bawah rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu, persalinan harus segera diselesaikan.
Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak akan bisa diterima.
Bila keadaan umum penderita mulai membaik, selanjutnya dilakukan laparotomi dengan tindakan jenis operasi:
1)      Histerektomi, baik total maupun subtotal.
2)      Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya.
3)      Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang cukup.
Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara lain:
·         Keadaan umum
·         Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta
·         Jenis luka robekan
·         Tempat luka
·         Perdarahan dari luka
·         Umur dan jumlah anak hidup
·         Kemampuan dan keterampilan penolong

k.      Prognosis
Harapan hidup bagi janin sangat suram. Angka mortilitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50 hingga 70 persen. Tetapi jika janin masih hidup pada saat terjadinya peristiwa tersebut, satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera, yang paling sering dilakukan lewat laparotomi.
Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati penyembuhan spontan pernah pula ditemukan pada kasus-kasus yang luar biasa. Diagnosis cepat, tindakan operasi segera, ketersediaan darah dalam jumlah yang besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan ruptura pada uterus yang hamil.

7.      Inversio uteri
a.      Pengertian
Inversio uteri adalah bagian atas uterus memasuki cavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam cavum uteri. Pada inversio uteri menahun, yang di temukan beberapa lama setelah persalinan, sebaiknya di tunggu berakhirnya involusi kemudian di lakukan pembedahan pervaginam. Inversio uteri jarang terjadi, tetapi jika terjadi, dapat menimbulkan syok yang berat.
Menurut dr. Ida Bagus GdeManuaba, SpOG) Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau perlahan. Kejadian ini biasanya disebabkan pada saat melakukan persalinan plasenta secara Crede, dengan otot rahim belum berkontraksi dengan baik. Inversio uterim emberikan rasa sakit yang dapat menimbulkan keadaan syok.

b.      Pembagian inversio uteri :
1)      Inversio uteri ringan/ inversio uteri inkomplit : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri namun belum keluar dari ostium uteri
2)       Inversio uteri sedang /inversio uteri inkomplit :: terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.
3)       Inversio uteri berat/ inversio prolaps : uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina.
b.      Klasifikasi prolapsus uteri
-Tingkat I : Uterus turun dengan serviks paling rendah dalam introitus vagina
-Tingkat II: uterus sebagian besar keluar dari vagina
-Tingkat III : Uterus keluar seluruhnya dari vagina yang disertai dengan inversio vagina ( prosidensia uteri)
c.       Etiologi Inversio Uteri
Penyebab Inversio Uteri yaitu :
1)      Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk).
2)      Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.
d.      Faktor yang mempermudah terjadinya inversio uteri :
1)      Tunus otot rahim yang lemah
2)      Tekanan atau tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan dengan tangan, tarikan pada tali pusat)
3)      Canalis servikalis yang longgar. Patulous kanalis servikalis.Frekuensi inversio uteri : angka kejadian 1: 20.000 persalinan.
4)      Akibat traksi talipusat dengan plasenta yang berimplantasi dibagian fundus uteri dan dilakukan dengan tenaga berlebihan dan diluar kontraksi uterus akan menyebabkan inversio uteri

e.       Tanda gejala inversio uteri
gejala klinis inversio uteri:
1)      Dijumpai pada kala III atau post partum dengan gejala nyeri yang hebat, perdarahan yang banyak sampai syok.Apalagi bila plasenta masih melekat dansebagian sudah ada yang terlepas dandapat terjadi strangulasi dan nekrosis.
2)       Pemeriksaan dalam : ± Bila masih inkomplit maka pada daerahsimfisis uterus teraba fundus utericekung ke dalam. ± Bila komplit, di atas simfisis uterusteraba kosong dan dalam vagina terabatumor lunak. ± Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik).
Tanda dan gejala inversio uteri yang selalu ada
1)      Uterus terlihat
2)      Uterus bisa terlihat sebagai tonjolan mengilat, merah lembayung di vagina
3)      Plasenta mungkin masih melekat (tampak tali pusat)
4)      Perdarahan
Tanda paling sering inversio uteri adalah perdarahan, tetapi cepatnya ibu mengalami kolaps dengan jumlah kehilangan darahnya
a)  Syok berat
b) Nyeri
c) Nyeri abdomen bawah berat, disebabkan oleh penarikan pada ovarium dan peritoneum serta bias disertai rasa ingin defekasi
d) Lumen vagina terisi massa
Tanda dan gejala yang kadang – kadang ada :
a) Syok neurogenik
b) Pucat dan limbung
Gejala klinis prolapsus uteri :
Sangat individual dan berbeda-beda, kadang-kadang prolapsus uterinya cukup berat tapi keluhannya (-) dan sebaliknya. Prolapsus uteri dapat mendadak seperti nyeri,
Muntah, kolps ( jarang), keluhan- keluhannya :
1)      Terasa ada yang mengganjal/menonjol digenitalia ekstema
(vagina atau perasaan berat pada perut bagian bawah
2)      Riwayat nyeri dipinggang dan panggul yang berkurang atau hilang dengan berbaring.
3)      Timbulnya gejala-gejala dari : Sitokel : Pipis sedikit-sedikit dan sering, tak puas dan stress inkontinensia (tak dapat menahan BAK) karena dinding belakang uretra tertarik, sehingga fungsi sfincter terganggu. Rektokel : terjadi gangguan defikasi seperti obstipasi, karena faeces berkumpul di rongga rektokel. Koitus terganggu, juga berjalan dan bekerja. Leukorea, karena bendungan/kongesti daerah serviks. Luka lecet pada portio karena geseran celana dalam. Enterokel, menyebabkan rasa berat dan penuh pada daerah panggul. Servisitis dapat menyebabkan infertility. Menoragia karena bendungan
(Rustam Mochtar, Dr. Amru Sofian, 2011)
f.       Komplikasi inversio uteri:
1)      Keratinisasi mukosa vagina dan portio uteri
2)      Dekubitis
3)      Hipertropi serviks uteri dan elongasioa
4)       Gangguan miksi dan stress inkontenensia
5)      Infeksi saluran kencing
6)      Infertilitas
7)      Gangguan partus
8)      Hemoroid 
9)      inkarserasi usus
g.      Diagnosis perdarahan pasca persalinan
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam jangka waktu lama, tanpa disadari pasien telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernafasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun.
Diagnosis Perdarahan Pascapersalinan
:
- Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
- Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
- Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari:
- Sisa plasenta atau selaput ketuban
- Robekan rahim
- Plasenta suksenturiata
- Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah
- Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation Test), dll

Perdarahan pascapersalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan hingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus yang juga bahaya karena kita tidak menyangka akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan juga jatuh dalam presyok dan syok. Karena itu, adalah penting sekali pada setiap ibu yang bersalin dilakukan pengukuran kadar darah secara rutin, serta pengawasan tekanan darah, nadi, pernafasan ibu, dan periksa juga kontraksi uterus perdarahan selama 1 jam.

h.        Patofisiologi  inversio uteri
Uterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan. Dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil danuterus akan terisi darah.
Dengan adanya persalinan yang sulit, menyebabkan kelemahan pada ligamentum-ligamentum, fasia endopelvik, otot-otot dan fasia dasar panggul karena peningkatan tekanan intra abdominal dan faktor usia. Karena serviks terletak diluar vagina akan menggeser celana dalam dan menjadi ulkus dekubiltus (borok). Dapat menjadi SISTOKEL karena kendornya fasia dinding depan vagina (mis : trauma obstetrik) sehingga kandung kemih terdorong ke belakang dan dinding depan vagian terdorong ke belakang. Dapat terjadi URETROKEL, karena uretra ikut dalam penurunan tersebut. Dapat terjadi REKTOKEL, karena kelemahan fasia di dinding belakang vagina, ok trauma obstetri atau lainnya, sehingga rektum turun ke depan dan menyebabkan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan. Dapat terjadi ENTEROKEL, karena suatu hemia dari kavum dauglasi yang isinya usus halus atau sigmoid dan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan. Sistokel, uretrokel, rektokel, enterokel dan kolpokel disebut prolaps vagina.Prolaps uteri sering diikuti prolaps vagina, tetapi prolaps vagina dapat berdiri sendiri
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya masukIni adalah merupakan komplikasi kala III
persalinan yang sangat ekstrem. Inversio Uteri terjadi dalam beberapa tingkatan, mulai dari bentuk ekstrem berupa terbaliknya terus sehingga bagian dalam fundus uteri keluar melalui servik dan berada diluar seluruhnya ke dalam kavum uteri. Oleh karena servik mendapatkan pasokan darah yang sangat banyak maka inversio uteri yang total dapat menyebabkan renjatan vasovagal dan memicu terjadinya perdarahan pasca persalinan yang masif akibat atonia uteri yang menyertainya Inversio Uteri dapat terjadi pada kasus pertolongan persalinan kala III aktif . khususnya bila dilakukan tarikan talipusat terkendali pada saat masih belum ada kontraksi uterus dan keadaan ini termasuk klasifikasi tindakan iatrogenic

i.                  Penatalaksanaan inversio uteri :
Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversio uteri. Tarikan pada tali pusat sebelum plasenta benar-benar lepas, jangan dilakukan dan apabila melakukan prasat Crede harus diperhatikan syarat-syaratnya.
Apabila terdapat inversio uteri dengan gejala-gejala syok, maka harus diatasi lebih dulu dengan infuse i.v cairan elektrolit dan transfusi darah, segera sesudah itu dilakukan reposisi. 
reposisi inversio uteri
reposisi

                  Apabila reposisi pervaginam gagal, sebaiknya dilakukan pembedahan menurut Haultein (dikerjakan laparotomi, dinding belakang lingkaran konstriksi dibuka, sehingga memungkinkan penyelenggaraan reposisi uterus sedikit demi sedikit, kemudian luka di bawah uterus dijahit dan luka laparotomi ditutup).
reposisi inversio dengan laparotomi
reposisi dengan laparotomi


Pencegahan Inversi Sebelum Tindakan :
1)  Koreksi Manual
a)      Pasang sarung tangan DTT 
b)      Pegang uterus pada daerah insersi tali pusat dan masukkan kembali melalui serviks.Gunakan tangan lain untuk membantu menahan uterus dari dinding abdomen.Jika plasenta masih belum terlepas,lakukan plasenta manual setelah tindakan koreksi.masukkan bagian fundus uteri terlebih dahulu.
c)      Jika koreksi manual tidak berhasil,lakukan koreksi hidrostatik.
2)Koreksi Hidrostatik
a)      Pasien dalam posisi trendelenburg dengan kepala lebih rendah sekitar 50 cm dari perineum.
b)      Siapkan sistem bilas yang sudah desinfeksi,berupa selang 2 m berujung penyemprot berlubang lebar.Selang disambung dengan tabung berisi air hangat 2-5 l(atau NaCl atau infus lain) dan dipasang setinggi 2 m.
c)      Identifikasi forniks posterior.
d)     Pasang ujung selang douche pada forniks posterior sampai menutup labia sekitar ujung selang dengan tangan.
e)      Guyur air dengan leluasa agar menekan uterus ke posisi semula.
3)      Koreksi Manual Dengan Anestesia Umum
a)      Jika koreksi hidrostatik gagal,upayakan reposisi dalam anastesia umum. Halotan merupakan pilihan untuk relaksasi uterus.
4)      Koreksi Kombinasi Abdominal – VaginalØ
a)      Kaji ulang indikasi
b)       Kaji ulang prinsip dasar perawatan operatif
c)      Lkukan insisi dinding abdomen sampai peritoneum,dan singkirkan usus dengan kasa.tampak uterus berupa lekukan.
d)     Dengan jari tangan lakukan dilatasi cincin konstriksi serviks.
e)      Pasang tenakulum melelui cincin serviks pada fundus.
f)       Lakukan tarikan atau traksi ringan pada fundus sementara asisten melakukan koreksi manual melalui vagina.
g)      Jika tindakan traksi gagal,lakukan insisi cincin kontriksi serviks di bagian belakang untuk menghindari resiko cedera kandung kemih,ulang tindakan dilatasi,pemasangan tenakulum dan fraksi fundus.
h)      Jika koreksi berhasil,tutup dinding abdomen setelah melakukan penjahitan hemostasis dan dipastikan tidak ada perdarahan.
i)        Jika ada infeksi ,pasang drain karet.
j.        Perawatan Pasca Tindakan
1)      Jika inversi sudah diperbaiki,berikan infuse oksitisin 20 unit dalam 500 ml I.V. (NaCl 0.9 % atau ringer laktat) 10 tetes/menit.
a) jika dicurigai terjadi perdarahan,berikan infus sampai dengan 60
tetes/ menit.
b)Jika kontraksi uterus kurang baik,berikan ergometrin 0,2 mg .
2)  Berikan antibiotic propilaksis dosis tunggal:
- Ampisilin 2g I.V dan metronidazol 500 mg I.V
- Atau sevasolin 1g I.V dan metrodinasol 500 mg I.V
3) Lakukan perawatan paska bedah jika dilakukan koreksi kombinasi abdominal vaginal.
4) Jika ada tanda infeksi berikan sntibiotik kombinasi sampai pasien bebas demam selama 48 jam.
5)  Berikan analgetik jika perlu.

k. Pencegahan

Faktor-faktor yang mempermudah prolapsus uteri dan dengan anjuran :
- Istirahat yang cukup, hindari kerja yang berat dan melelahkan gizi cukup
- Pimpin yang benar waktu
persalinan, seperti : Tidak mengedan sebelum waktunya, Kala II jangan terlalu lama, Kandung kemih kosongkan), episiotomi agar dijahit dengan baik, Episiolomi jika ada indikasi, Bantu kala II dengan FE atau VE

l. Pengobatan
Pengobatan tanpa operasi
a)      Tidak memuaskan dan hanya bersifat sementara pada prolapsus uteri ringan, ingin punya anak lagi, menolak untuk dioperasi, Keadaan umum pasien tak mengizinkan untuk dioperasi
b)      Caranya : Latihan otot dasar panggul, Stimulasi otot dasar panggul dengan alat listrik, Pemasangan pesarium, Hanya bersifat paliatif, Pesarium dari cincin plastic
c)      Prinsipnya : alat ini mengadakan tekanan pada dinding atas vagina sehingga uterus tak dapat turun melewati vagina bagian bawah. Biasanya dipakai pada keadaan: Prolapsus uteri dengan kehamilan, Prolapsus uteri dalam masa nifas, Prolapsus uteri dengan dekubitus/ulkus, Prolapsus uteri yang tak mungkin dioperasi : keadaan umu yang jelek
Pengobatan dengan operasi
a)      Operasi Manchester/Manchester-Fothergill
b)      Histeraktomi vaginal
c)      Kolpoklelsis (operasi Neugebauer-La fort)
d)      Operasi-operasi lainnya :Ventrofiksasi/hlsteropeksi, Interposisi
Jika Prolaps uteri terjadi pada wanita muda yang masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya cara yang terbaik adalah dengan :
- Pemasangan pesarium
- Ventrofiksasi (bila tak berhasil dengan pemasangan pesarium)








Anemia Dalam Kehamilan
a.      Definisi
Anemia adalah suatu kondisi dimana berkurangnya sel darah merah (eritrosit) dalam sirkulasi darah atau masa hemoglobin sehingga tidak mampu memenuhi fungsi sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan (Tarwoto, dkk., 2007).
Anemia merupakan kekurangan kualitas maupun kuantitas sel darah yang membawa oksigen disekitar tubuh dalam bentuk hemoglobin, nantinya hal ini akan menimbulkan pengurangan dalam kapasitas sel darah merah untuk membawa oksigen bagi ibu dan janin (Atikah, 2007).
Anemia dalam kehamilan ialah kondisi ibu dengan kadar Hb dibawah 11 gr% pada trimester  1 dan trimester 3 atau kadar Hb <10,5 gram% pada trimester 2 karena terjadinya hemodilusi pada trimester II (Sarwono, 2007).
b.      Etiologi
Anemia  pada ibu hamil biasanya disebabkan oleh:
1.      Kurang gizi (malnutrisi).
2.      Kurang zat besi dalam makanan.
3.      Malabsorsi.
4.      Kehilangan darah banyak pada waktu persalinan yang lalu, haid.

c.       Tanda dan gejala anemia
Menurut NS. Tarwono dkk., (2007), bahwa tanda dan gejala anemia  selama ibu hamil adalah:
1.      Cepat  lelah/kelelahan, hal ini terjadi karena penyimpangan oksigen dalam jaringan otot  kurang sehingga metabolism  otot terganggu.
2.      Nyeri kepala dan pusing merupakan kompensasi dimana otak kekurangan oksigen karena daya angkut hemoglobin berkurang.
3.      Pucat pada muka, telapak tangan, kuku, mukosa, dan konjungtiva.

d.      Klasifikasi Anemia
Klasifikasi anemia pada ibu hamil  terdiri dari  beberapa bagian yaitu:
1.      Anemia Defisiensi Zat Besi
            Anemia defisiensi besi adalah merupakan jenis anemia yang terbanyak di dunia, Terutama pada Negara miskin dan Negara yang berkembang. Anemia defisiensi besi merupakan gejala kronis dengan keadaan hipokronik (konsentrasi hemoglobin berkurang).
            Kurangnya besi berpengaruh dalam pembentukan hemoglobin, sehingga kosentrasinya dalam sel darah merah berkurang. Hal ini akan mengakibatkan tidak adekuatnya pengangkutan oksigen keseluruh jaringan tubuh.
Etiologi
a.       Salah satu penyebab terjadinya anemia zat gizi adalah akibat ketidakseimbangan pola makan dalam mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi dengan kebutuhan didalam tubuh.
b.      Ganguan absorpsi besi pada usus dapat disebabkan oleh karna infeksi peradangan, neoplasma pada gaster, duedonum maupun jejenum.
c.       Kebutuhan sel darah merah meningkat pada wanita hamil dan menyusui kebutuhan besi sangat besar sehingga memerlukan asupan-asupan yang sangat besar pula untuk menegakkan diagnosa anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan anamnese. Hasil anamnese didapatkan seperti: cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang dan keluhan muntah pada hamil muda. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilkukan minimal 2 kali selama kehamilan yaitu trimester I dan III. Hasil pemeriksaan Hb dapat digolongkan sebagai berikut:
  1. Hb 11 gr%       : Tidak anemia
  2. Hb 9-10 gr%   : Anemia ringan
  3. Hb 7 – 8 gr%   : Anemia sedang
  4. Hb < 7 gr%     : Anemia berat

e.       Penatalaksanaan
1.      Pemberian diet tinggi zat besi
2.      Pemberian tambahan zat besi misalnya:
a.       Sulfat ferosus
b.      Feroglukonat atau diberikan secara parental jika mengalami alergi
3.      Pemberian Vit C
4.      Transfusi darah jika diperlukan

Dampak Anemia Selama Kehamilan
Hemoglobin memiliki peran penting dalam mengantar oksigen keseluruh tubuh, adapun kompikasi yang dapat ditimbulkan karena anemia selama kehamilan antara lain sebagai berikut:
1.      Kematian disebabkan karena perdarahan, infeksi atau komplikasi lain dari transplantasi sumsum tulang.
2.      Infeksi
3.      Gagal jantung

Hubungan Antara Anemia Kehamilan Dengan Perdarahan Postpartum
Pada anemia jumlah efektif sel darah merah berkurang. Hal ini mempengaruhi jumlah haemoglobin dalam darah. Berkurangnya jumlah haemoglobin menyebabkan jumlah oksigen yang diikat dalam darah juga sedikit, sehingga mengurangi jumlah pengiriman oksigen ke organ-organ vital. Anemia dalam kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan nifas. Prevalensi anemia yang tinggi berakibat negatif seperti Gangguan dan hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak, Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Sehingga dapat memberikan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang dilahirkan.
Pada saat hamil, bila terjadi anemia dan tidak tertangani hingga akhir kehamilan maka akan berpengaruh pada saat postpartum. Pada ibu dengan anemia, saat postpartum akan mengalami atonia uteri. Hal ini disebabkan karena oksigen yang dikirim ke uterus kurang. Jumlah oksigen dalam darah yang kurang menyebabkan otot-otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan banyak (Manuaba, 2007).





DAFTAR PUSTAKA
R.Forte, H. O. & W. (2010). Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi Persalinan. (P. . Dr. M.Hakimi, Ed.). Yogyakarta.
Rustam Mochtar, Dr. Amru Sofian, S. O. (K). O. M. (2011). Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar: