Jumat, 12 September 2014

MALPRAKTIK DALAM PELAYANAN KEBIDANAN




A.    Mal Praktik
1.      Pengertian Malpraktek
Dalam suatu kasus di california tahun 1956 Guwandi (1994) mendifiniskan mallpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan kepada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya yang sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan mal praktik yaitu kelalaian dan malpraktik. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan beresiko melakukan kesalahan. Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan seseorang dengan hati-hati  dalam keadaan tersebut.
Dengan pengertian diatas, dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat yang ditimbulkan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya (hanafiah & Amir, 1999). Namun, jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat(culpa lata), serius dan kriminal.
Malpraktik tidak sama dengan kelalaian. Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dari pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Mall praktek merupakan Kelalaian tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuannya yg lazim dipergunakan dlm asuhan yang diberikan ke  pasien, menurut ukuran (standar) di lingkungan yang sama.  Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi di dalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian. Malpraktik lebih luas dari pada kelalaian (negligence) karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan mal praktik adalah:
1)      Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2)      Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence) dan;
3)      Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Tuntutan malpraktik dapat bersifat pelanggaran-pelanggaran berikut:
1)      Pelanggaran etika profesi
2)      Sanksi administratif
3)      Pelanggaran hukum
(Drs. Julianus Ake, S.Kp, 2012)
2.      Faktor yang menyebabkan terjadinya mal praktik:
1)      Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum
2)      Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
3)      Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
(Gruendeman & Fernsebner, 2006)
4)      Petugas kesehatan  (dokter, perawat, bidan ) tidak memahami benar tentang filosofi keilmuannya sehingga pada saat melaksanakan asuhan kepada klien tidak sesuai dengan kewenaangannya, kompetensinya, serta melakukan asuhan dibawah standar operasinal prosedur, bertentangan dengan hukum, lalai dengan tugasnya dan akhirnya terjadi komunikasi yang tidak baik antara nakes dan pasien, hasil perawatan dirasakan kurang memuaskan, serta biaya yang dirasakan terlalu tinggi serta terjadi  insiden KTD (Kejadian yang tidak diharapkan) atau Sentinel yang pada akhirnya akan menimbulkan tuntutan dari pasien tersebut.
3.      Sebab-sebab terjadinya gugatan malpraktik:
1)      Komunikasi yang tidak baik
2)      Hasil perawatan yang tidak memuaskan
3)      Biaya yang dianggap terlalu tinggi
4.      Strategi untuk menanggulangi permasalahan malpraktik
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktik diharapkan tenaga medis dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1)      Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya ( inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2)      sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent
3)      mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis
4)      apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5)      Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6)      Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar.
7)      Petugas kesehatan harus mengetahui dan mematuhi standar perawatan, harus mengetahui standar asosiasi nasional dan praktik yang direkomendasikan, serta memperhatikan isu – isu terbaru dari jurnal atau buku yang diterbitkan dan melaksanakan asuhan berdasarkan evidence base dengan sumber bukti ini.
Apabila tuduhan kepada tenaga kesehatan merupakan criminal malpraktice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan:
1)      Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasarkan atau tidak menunjukkan pada doktrin-doktrin yang ada.
2)      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjukkan pada doktrin-doktrin hukum. (Dampang, 2011)
4. Jenis-Jenis Malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.17
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).
Adapun isi dari pada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:
a.       Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien
b.      Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
c.       Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d.      Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.
3. Teori-Teori Malpraktek
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu:
a.       Teori Pelanggaran Kontrak
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut. Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.
Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakan penderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b.      Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and battery)
c.       Teori Kelalaian
Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum.
Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-teori itu adalah:
a.       Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.
b.      Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
 Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c.       Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek.
Teori pembelaan ini bersifat spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya, yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat tergantung pada penilaian pengadilan.
d.      Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e.       Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama. Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab perdata (masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam kasus ini hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak atau janji saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu perdamaian antara kedua belah pihak.
Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat sehingga mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat diterapkan, sebab bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang menyangkut kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri. Disamping itu, kalau teori ini diterima dalam kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktek seorang tenaga kesehatan tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi tanggung jawab dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam menjalankan tugasnya.
f.       Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum yang lain.

g.      Workmen’s Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya.
Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun terdapat peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus memberikan pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat, seorang tenaga kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika terjadi sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang  ditolongnya itu, maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara hukum.

B.     KODE ETIK KEBIDANAN
1.      Definisi
Kode etik adalah norma norma yang harus di indahkan oleh setiap prefesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan di dalam hidupnya di masyarakat (Wahyuningsih 2008).
Kode Etik juga merupakan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional
Kode etik juga di artikan sebagai suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai nilai internal  dan eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pengetahuan yang komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntunan bagi anggota bidan dalam melaksanakan pengabdiannya.Profesi adalah moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita cita dan nilai bersama.
2.      Tujuan
a.       Menjujung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini semua anggaota profesi kebidanan yang akan menjunjung tinngi martabatnya,oleh karena itu setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindakan yang dapat mencemarkan nama baik profesinya tersebut.
b.      Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
Yang di maksud dengan kesejahteraan disini adalah kesejahteraan material dan spiritual dari anggota profesi tersebut.Kode etik juga menciptakan peraturan peraturan yang di tujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas di lakukan oleh seorang bidan.
c.       Meningkatka pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini profesi dengan mudah    mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya.Oleh karena itu dalam kode etiik merumuskan ketentuan ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
d.      Meningkatkan mutu profesi
Dengan adanya kode etik ini dapat memelihara dan meningkatkan  mutu profesi dalam menjalankan pengabdiannya.
e.       Dimensi kode etik
1)      Anggota profesi dan klien
2)      Anggota profesi dan system
3)      Anggota profesi dan profesi baru
4)      Semua anggota profesi
f.       Prinsip kode etik
1)      Menghargai otonomi
2)      Melakukan tindakan yang benar
3)      Mencegah tindakan yang dapat merugikan
4)      Memperlakukan manusia secara adil
5)      Menjelaskan dengan benar
6)      Menepati janji yang telah disepakati
7)      Menjaga kerahasiaan
Bidan merupakan salah satu unsur tenaga medis yang berperan dalam mengurangi angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan, baik dalam proses persalinan maupun dalam memberikan penyuluhan atau panduan bagi ibu hamil. Melihat besarnya peranan bidan tersebut, maka haruslah ada pembatasan yang jelas mengenai hak dan kewajiban dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan bidan tersebut. Maka, dibuatlah Kode Etik bidan, dimana kode etik tersebut merupakan suatu pernyataan kemprehensif dan profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota untuk melaksanakan praktek profesinya, baik yang berhubungan dengan klien sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun terhadap teman sejawat, profesi dan diri sendiri, sebagai kontrol kualitas dalam praktek kebidanan.
Kode Etik adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya dimasyarakat. Dalam Rapat Kerja Nasional Ikatan Bidan Indonesia Tahun 1991 secara umum kode etik tersebut berisi 7 bab yang dapat dibedakan menjadi tujuh bagian, yaitu :

1.      Kewajiban Bidan terhadap klien dan masyarakat
2.      Kewajiban bidan terhadap tugasnya
3.      Kewajiban bidan terhadap teman sejawat dan tenaga kesehatan lainya
4.      Kewajiban bidan terhadap profesinya
5.      Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
6.      Kewajiban bidan terhadap pemerintah,nusa bangsa dan tanah air
7.      Penutup
Sesuai keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang standar profesi bidan, di dalamnya terdapat kode etik bidan Indonesia. Diskripsi kode etik bidan Indonesia adalah merupakan suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai nilai internal suatu disiplin ilmu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif profesi bidan yang memberikan tuntutan bagi anggota dalam melaksanakan tugasnya perofesinya. Kode etik profesi bidan juga merupakan suatu pedoman dalam tata cara dan keselarasan dalam melaksanakan pelayanan kebidanan.
3.      Penyimpangan kode Etik
Kode etik diharapkan mampu menjadi sebuah pedoman yang nyata bagi para bidan dalam menjalankan tugasnya. Tapi pada kenyataannya para bidan masih banyak yang melakukan pelanggaran terhadap kode etiknya sendiri dalam pemberian pelayanan terhadap masyarakat.
Dalam kasus skenario 4 bahwa bidan yang menolong persalinan tersebut banyak melakukan penyimpangan pelayanan kebidanan yang tidak seharusnya dilakukan oleh bidan seperti tehnik kristeller, episiotomy yang terlalu lebar, bayi meninggal, perdarahan karena robekan uterus dan akhirnya dirujuk dan dilakukan tindakan histerektomi. Mestinya bidan sudah mempunyai ketrampilan dalam pertolongan persalinan sehingga penyimpangan penyimpangan ini tidak terjadi sebelum melakukan pertolongan  bidan juga harus melihat penapisan awal  terlebih dahulu apakah pasien ini beresiko, bila menemukan pasien ini beresiko mestinya bidan tersebut melakukan rujukan terencana.
Bentuk dari pelanggaran ini bermacam-macam. Seperti pemberian pelayanan yang tidak sesuai dengan kewenangan bidan yang telah diatur dalam Permenkes Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan.
Contoh pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh bidan adalah penangan kasus kelahiran sungsang, melakukan aborsi, menolong partus patologis dan yang lainnya. Untuk kasus kelahiran sungsang jika bidan melakukan pertolongan sendiri maka bertentangan dengan
a.     Undang-Undang Kesehatan Pasal 5 Ayat (2) yang  menyatakan bahwa ) “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman
b.     PERMENKES RI tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Pada Pasal 10 point (d) disebutkan bahwa “Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi  pertolongan persalinan  normal

C.    Standar Pelayanan Kebidanan
            Untuk menjamin  terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, ditetapkan standaarisasi intitusi kesehatan, izin penyelenggaraan pelayanan kesehatan diberikan pada intitusi kehatan yang memnuhi  standar yang telah ditetapkan. Dengan adanya ketentuan tentang standarisasi, dengan demikian ruang lingkup standar pelayanan kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkan sebagai berikut :
                                a.            Standar pelayanan umum (2 standar)
                                               1            Standar 1            : Persiapan untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Bidan memberikan penyuluhan dan nasehat kepada perorangan, keluarga dan masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan dengan kehamilan, termasuk penyuluhan kesehatan umum, gizi, keluarga berencana, kesiapan dalam menghadapi kehamilan dan menjadi calon orang tua, menghindari kebiasaan yang tidak baik dan mendukung kebiasaan yang baik.
                                               2            Standar 2            : Pencatatan dan Pelaporan
Bidan melakukan pencatatan semua kegiatan yang dilakukannya, yaitu registrasi. Semua ibu hamil di wilayah kerja, rincian pelayanan yang diberikan kepada setiap ibu hamil/bersalin/nifas dan bayi baru lahir, semua kunjungan rumah dan penyuluhan kepada masyarakat. Di samping itu bidan hendaknya mengikutsertakan kader untuk mencatat semua ibu hamil dan meninjau upaya masyarakat yang berkaitan dengan ibu hamil dan bayi baru lahir. Bidan meninjau secara teratur catatan tersebut untuk menilai kinerja dan penyusunan rencana kegiatan untuk meningkatkan pelayanannya.


                                b.            Standar Pelayanan Antenatal (6 standar)
                                               3            Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Bidan melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan masyarakat secara berkala untuk memberikan penyuluhan dan memotivasi ibu, suami, dan anggota keluarganya agar mendorong ibu untuk memeriksakan kehamilannya sejak dini dan secara teratur
                                               4            Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Bidan memberikan sedikitnya 4x pelayanan antenatal. Pemeriksaan meliput anamnesis dan pemantauan ibu janin dengan seksama untuk menilai apakah perkembangan berlangsung normal. Bidan juga harus mengenali kehamilan risti/ kelainan, khususnya anemia, kurang gizi, hipertensi, PMS, infeksi HIV, memberikan pelayanan imunisasi, nasehat dan penyuluhan kesehatan serta tugas terkait lainnya yang diberikan oleh puskesmas. Mereka harus mencatat data yang tepat pada setiap kunjungan. Bila ditemukan kelainan, mereka harus mampu mengambil tindakan yang diperlukan dan merujuknya untuk tindakan selanjutnya.
                                               5            Standar 5 : Palpasi dan Abdominal
Bidan melakukan pemeriksaan abdominal dan melakukan palpasi untuk memperkirakan usia kehamilan; serta bila kehamilan bertambah memeriksa posisi, bagian terendah janin dan masuknya kepala janin kedalam rongga panggul, untuk mencari kelainan dan melakukan rujukan tepat waktu.
                                               6            Standar 6            : Pengelolaan Anemia pada Kehamilan         
Bidan melakukan tindakan pencegahan, penemuan, penanganan dan rujukan semua kasus anemia pada kehamilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
                                               7            Standar 7  : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan mengenal tanda serta gejala preeklampsia lainnya, serta mengambil tindakan yang tepat dan merujuknya.
                                               8            Standar 8 : Persiapan Persalinan
Bidan memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil, suami serta keluarganya pada trimester ketiga, untu memastikan bahwa persiapan persalinan yang bersih dan aman serta suasana yang menyenangkan akan direncanakan dengan baik, disamping persiapan transportasi dan biaya untuk merujuk, bila tiba-tiba terjadi keadaan gawat darurat. Bidan hendaknya melakukan kunjungan rumah untuk hal ini.  
                                 c.            Standar Pertolongan Persalinan (4 standar)
                                               9            Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala I
Bidan menilai secara tepat bahwa persalian sudah mulai, kemudian memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai, dengan memperhatikan kebutuhan klien, selama proses persalinan berlangsung.
                                           10            Standar 10 : Persalinan Kala II yang Aman
Bidan melakukan pertolongan persalinan yang aman, dengan sikap sopan dan penghargaan terhadap klien serta memperhatikan tradisi setempat


                                           11            Standar 11 : Penatalaksanaan Aktif Persalinan Kala III
Bidan melakukan penegangan tali pusat dengan benar untuk membantu pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara lengkap
                                           12            Standar 12 : Penanganan Kala II dengan Gawat Janin melalui Episiotomi
Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat janin pada kala II yang lama, dan segera melakukan episiotomi dengan aman untuk memperlancar persalinan, diikuti dengan penjahitan perineum.  
                                d.            Standar Pelayanan Nifas (3 standar)
                                           13            Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir
Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk memastikan pernafasan spontan mencegah hipoksia sekunder, menemukan kelainan, dan melakukan tindakan atau merujuk sesuai dengan kebutuhan. Bidan juga harus mencegah atau menangani hipotermia.
                                           14            Standar 14 :Penanganan pada Dua Jam Pertama Setelah Persalinan
Bidan melakukan pemantauan ibu dan bayi terhadap terjadinya komplikasi dalam dua jam setelah persalinan, serta melakukan tindakan yang diperlukan. Di samping itu, bidan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang mempercepat pulihnya kesehatan ibu, dan membantu ibu untuk memulai pemberian ASI.
                                           15            Standar 15 :Pelayanan bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas
Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas melalui kunjungan rumah pada hari ketiga, minggu kedua dan minggu keenam setelah persalinan, untuk membantu proses pemulihan ibu dan bayi melalui penanganan tali pusat yang benar, penemuan dini penanganan atau rujukan komplikasi yang mungkin terjadi pada masa nifas, serta memberikan penjelasan tentang kesehatan secara umum, kebersihan perorangan, makanan bergizi, perawatan bayi baru lahir, pemberian ASI, imunisasi dan KB.
                                 e.              Standar Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri-Neonatal (9 standar)
                                           16            Standar 16 : Penanganan Perdarahan dalam Kehamilan pada  Trimester III
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala perdarahan pada kehamilan, serta melakukan pertolongan pertama dan merujuknya.
                                           17            Standar 17 : Penanganan Kegawatan dan Eklampsia
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala eklampsia mengancam, serta merujuk dan/atau memberikan pertolongan pertama
                                           18            Standar 18 : Penanganan Kegawatan pada Partus Lama/Macet
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala partus lama/macet serta melakukan penanganan yang memadai dan tepat waktu atau merujuknya
                                           19            Standar 19 : Persalinan dengan Penggunaan Vakum Ekstraktor
Bidan mengenali kapan diperlukan ekstraksi vakum, melakukannya dengan benar dalam memberikan pertolongan persalinan dengan memastikan keamanannya bagi ibu dan janin/bayinya.
                                           20            Standar 20 : Penanganan Retensio Plasenta
Bidan mampu mengenali retensio plasenta, dan memberikan pertolongan pertama termasuk plasenta manualdan penanganan perdarahan, sesuai dengan kebutuhan.
                                           21            Standar 21 : Penanganan Perdarahan Post Partum Primer
Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24 jam pertama setelah persalinan (perdarahan post partum primer) dan segera melakukan pertolongan pertama untuk mengendalikan perdarahan.
                                           22            Standar 22 : Penanganan Perdarahan Post Partum Sekunder
Bidan mampu mengenali secara tepat dan dini tanda serta gejala perdarahan post partum sekunder, dan melakukan pertolongan pertama untuk penyelamatan jiwa ibu, atau merujuknya.
                                           23            Standar 23 : Penanganan Sepsis Puerperalis
Bidan mampu mengamati secara tepat tanda dan gejala sepsis puerperalis, serta melakukan pertolongan pertama atau merujuknya.  
                                           24            Standar 24          : Penanganan Asfiksia Neonatorum
Bidan mampu mengenali dengan tepat bayi baru lahir dengan asfiksia, serta melakukan resusitasi, mengusahakan bantuan medis yang diperlukan dan memberikan perawatan lanjutan.
Dalam scenario jelas dapat di simpulkan bahwa bidan tersebut telah banyak melakukan penyimpangan penyimpangan dalam menjalankan praktek kebidanannya seperti melakukan tindakan kristeler,episiotomy yang terlau lebar,bayi meninggal dunia,ibu nya perdarahan dan harus di histerektomi serta bidan tidak mempunyai fasilitas yang memadai dalam mendukung pelayanan kebidanan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer 1464/Menkes/Per/X/2010  Bab 1 Pasal 6 yang berbunyi “Standar adalah pedoman yang harus di gunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan,standar profesi dan standar operasional prosedur” dan pasal 18 ayat 1g yang berbunyi “mematuhi standar”.
Kewenangan Praktik Kebidanan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464 /Menkes/Per/ X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan,  kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
1.      Kewenangan normal:
·       Pelayanan kesehatan ibu
·       Pelayanan kesehatan anak
·       Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
2.      Kewenangan dalam menjalankan program Pemerintah
3.      Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter

   Menurut kode etik kebidanan,bidan tersebut juga melakukan penyimpangan kewajiban terhadap tugasnya seharusnya setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.Bila di hubungkan dengan kasus dalam scenario bidan tersebut seharusnya melakukan penapisan awal sebelum melakukan tindakan pertolongan persalinan,apakah pasien tersebut mempunyai komplikasi atau penyulit di dalam persalinannya nanti misalnya hamil dengan bayi besar. Maka dengan kita dapat mengenali penapisan awal dan di lakukan rujukan  terencana pasien akan menjalani persalinannya dengan aman di rumah sakit,sehingga kejadian rupture uteri dapat di hindarkan.
             Dalam organisasi Ikatan Bidan Indonesia mempunyai MPEB (Majelis Pertimbangan Etik Bidan) yang merupakan badan perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan dengan tuntutan dari pasien akibat pelayanan yang di berikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hukum.MPEB bertujuan mengupayakan peningkatan mutu pelayanan yang di berikan oleh bidan  dalam masyarakat sesuai dengan mengamalkan ketentuan ketentuan kode etik  Bidan Indonesia.
             Kode etik merupan norma yang berlaku bagi anggota IBI dalam menjalankan praktek profesi sebagai bidan yang telah di sepakati dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia.Keberadaan MPEB bertujuan untuk :
1.      Meningkatkan citra Ikatan Bidan Indonesia dalam meningkatkan mutu pelayanan yang di berikan bidan.
2.      Terbentuknya lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap kode etik Bidan Indonesia.
3.      Meningkatkan kepercayaan diri anggota IBI
4.      Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayanan.
Tugas dan wewenang MPA dan MPEB adalah memberikan bimbingan pembinaan serta pengawasan etik profesi meneliti dan menetukan ada atau terhadap kesalahan dan kelalaian bidan dalam memberikan pelayanannya etika profesi ialah norma norma yang berlaku bagi bidan dalam memberikan pelayanan profesinya seperti yang tercantum dalam kode etik bidan.
Bidan harus mengetahui dan menghormati norma norma yang hidup dalam masyarakat seperti :
1.      Norma Agama
2.      Norma Hukum
3.      Norma Etik yaitu norma sopan santun,adat istiadat dan lain lain
Bidan harus sesuai dengan profesinya serta fungsinya untuk memberikan pelayanan KIA/KB hubungan pribadi setiap bidan dengan pasiennya sangat erat,yang perlu di perhara dan dibina sebaik mungkin,sehingga hubungan bidan dan masyarakat yang memerlukan jasa bidan dapat berjalan dengan baik secara terus menerus.
D.    Tinjauan Islam Terkait Malpraktik
Ayat Alqur’an terkait Malpraktik terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 92 yang artinya :
“Dan barang siapa membunuh seseorang yang beriman karena tersalah (Hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) kecuali jika (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran”.
Para Fuqaha bersepakat apabila tabib atau dokter lalai (culpa) dalam tindakannya, maka ia harus membayar diyat.
(Anita, 2009)
E.     UU terkait Malpraktik
Undang-undang republic Indonesia nomor 36 tahun 2009 BAB VII Tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja,  Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat Bagian ke satu : kesehatan ibu, bayi dan anak
Pasal 126
(1)   Upaya kesehatan ibu  harus ditujukan untuk menjaga kesehatan  ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2)   Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.
(3)   Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu dan terjangkau.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan peraturan pemerintah.
Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara langsung menggunakan istilah malpraktek. Begitu juga dalam hukum kesehatan Indonesia yang berupa UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak menyebutkan secara resmi istilah malpraktek. Tetapi hanya menyebutkan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi yaitu yang tercantum dalam Pasal 54 dan 55 UU Kesehatan.
Pasal 54:
(1)   Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2)   Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
(3)   Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi dan tata kerja Majelis   Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 55:
(1)   Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2)   Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer 1464/menkes/per/X/2010
PP IBI 2007,50 Tahun Ikatan Bidan Indonesia , Jakarta,cetakan ke 4
Wahyuningsih H, 2008, Etika Profesi Kebidanan, Yogyakarta, Fitrayama
Anita, W. (2009). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana Malpraktik Kedokteran. Institusi Agama Islam Negeri Walisongo.
Dampang, G. dan. (2011). Makalah Malpraktik keperawatan. Retrieved from biowawan.blogspot.com/2011/10/makalah-keperawatan-part-IV.html
Drs. Julianus Ake, S.Kp, M. K. (2012). Mall Parktik Dalam Ilmu Keperawatan. jakarta: EGC.
Gruendeman, B. J., & Fernsebner, B. (2006). Buku Ajar Keperawatan Perioperatif (1st ed.). jakarta: EGC.





Tidak ada komentar: