A.
Mal
Praktik
1. Pengertian
Malpraktek
Dalam
suatu kasus di california tahun 1956 Guwandi (1994) mendifiniskan mallpraktik
adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat
keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan
perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan
merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis
dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang
spesifik dari kelalaian (negligence)
yang ditujukan kepada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang
menunjukkan kinerjanya yang sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
Ada
dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan mal
praktik yaitu kelalaian dan malpraktik. Kelalaian adalah melakukan sesuatu
dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna melindungi orang lain
yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan beresiko
melakukan kesalahan. Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan
untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan seseorang dengan
hati-hati dalam keadaan tersebut.
Dengan
pengertian diatas, dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat
ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono,
tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat yang ditimbulkan
bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan jika
kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cidera kepada orang lain dan
orang itu dapat menerimanya (hanafiah & Amir, 1999). Namun, jika kelalaian
itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang
lain, ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat(culpa lata), serius dan kriminal.
Malpraktik tidak sama dengan kelalaian.
Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dari pemberi
pelayanan dan standar pelayanan profesional. Mall praktek merupakan Kelalaian tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu
pengetahuannya yg lazim dipergunakan dlm asuhan yang diberikan
ke pasien, menurut ukuran (standar) di
lingkungan yang sama.
Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi di dalam
malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian. Malpraktik lebih luas dari
pada kelalaian (negligence) karena
selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup
tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan mal praktik adalah:
1) Melakukan
suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2) Tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence) dan;
3) Melanggar
suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Tuntutan malpraktik
dapat bersifat pelanggaran-pelanggaran berikut:
1) Pelanggaran
etika profesi
2) Sanksi
administratif
3) Pelanggaran
hukum
(Drs. Julianus Ake, S.Kp, 2012)
2. Faktor
yang menyebabkan terjadinya mal praktik:
1) Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga
hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan
rata-rata dan ketelitian umum
2) Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat
instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses
kerja rutin tertentu.
3) Informed Consent Substansi informed consent adalah
memberikan informasi tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap
pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
(Gruendeman & Fernsebner, 2006)
4) Petugas
kesehatan (dokter, perawat, bidan )
tidak memahami benar tentang filosofi keilmuannya sehingga pada saat
melaksanakan asuhan kepada klien tidak sesuai dengan kewenaangannya,
kompetensinya, serta melakukan asuhan dibawah standar operasinal prosedur,
bertentangan dengan hukum, lalai dengan tugasnya dan akhirnya terjadi
komunikasi yang tidak baik antara nakes dan pasien, hasil perawatan dirasakan
kurang memuaskan, serta biaya yang dirasakan terlalu tinggi serta terjadi insiden KTD (Kejadian yang tidak diharapkan)
atau Sentinel yang pada akhirnya akan menimbulkan tuntutan dari pasien
tersebut.
3. Sebab-sebab
terjadinya gugatan malpraktik:
1) Komunikasi yang tidak baik
2) Hasil perawatan yang tidak memuaskan
3) Biaya yang dianggap terlalu tinggi
4. Strategi
untuk menanggulangi permasalahan malpraktik
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk
menggugat tenaga medis karena adanya malpraktik diharapkan tenaga medis dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1) Tidak
menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya ( inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2) sebelum
melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent
3) mencatat
semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis
4) apabila
terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5) Memperlakukan
pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6) Menjalin
komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar.
7) Petugas
kesehatan harus mengetahui dan mematuhi standar perawatan, harus mengetahui
standar asosiasi nasional dan praktik yang direkomendasikan, serta
memperhatikan isu – isu terbaru dari jurnal atau buku yang diterbitkan dan
melaksanakan asuhan berdasarkan evidence base dengan sumber bukti ini.
Apabila tuduhan kepada tenaga kesehatan
merupakan criminal malpraktice, maka
tenaga kesehatan dapat melakukan:
1) Informal
defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasarkan atau tidak menunjukkan pada doktrin-doktrin yang
ada.
2) Formal/legal
defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjukkan pada
doktrin-doktrin hukum. (Dampang, 2011)
4. Jenis-Jenis Malpraktek
Ngesti
Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu
malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical
malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.17
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga
kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku
untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga
bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana
(criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative
malpractice).
Adapun
isi dari pada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:
a.
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan,
tetapi terlambat melaksanakannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan,
tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum
haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak
tertulis).
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan
melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan
untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga
kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:
a. Adanya
suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien
b. Tenaga
kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
c. Penggugat
(pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d. Secara
faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.
3. Teori-Teori
Malpraktek
Ada
tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu:
a. Teori
Pelanggaran Kontrak
Teori
pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena
terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang
tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara
keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan
pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila
telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut. Sehubungan dengan
adanya hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa
hubungan tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya
kesepakatan bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan
gawat darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan
persetujuannya.
Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan
atau kontrak tenaga kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu
keluarga penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita.
Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakan penderita gawat
darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang
kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut perundang-undangan
yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan
sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan
kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b. Teori
Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk
menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang
dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara
fisik mengalami cedera (asssult and battery)
c. Teori
Kelalaian
Teori
ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian
(negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan
dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang
dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk
membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah
bagi aparat penegak hukum.
Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan
malpraktek, yang apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja
sangat berguna bagi pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan
teori-teori tersebut pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan
dan bagi aparat hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan
pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-teori itu adalah:
a. Teori
Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori
ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan
malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu
tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang
mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini mempunyai arti yang
sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan tenaga kesehatan
itu bertujuan untuk indikasi medis.
b. Teori
Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan
pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c. Perjanjian
Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara
lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktek
adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita,
yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila
terjadi misalnya kelalaian malpraktek.
Teori pembelaan ini bersifat spekulasi karena berhasil
tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya, yang dalam hal ini berupa
perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat tergantung pada penilaian
pengadilan.
d. Peraturan
Good Samaritan
Menurut
teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat
dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari
tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi suatu
kelalaian yang sangat mencolok.
e. Pembebasan
Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu
suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan
malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian
bersama. Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan
sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab perdata
(masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam kasus ini
hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak atau janji
saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk
menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu
perdamaian antara kedua belah pihak.
Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam
kategori hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat
sehingga mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat
diterapkan, sebab bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang
menyangkut kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah terbukti
tenaga kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap
diberlakukan padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada
masyarakat pada umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga
selanjutnya akan sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri. Disamping
itu, kalau teori ini diterima dalam kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan
malpraktek seorang tenaga kesehatan tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga
dapat mengurangi tanggung jawab dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan
di dalam menjalankan tugasnya.
f. Peraturan
Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut
teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu
tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum
yang lain.
g. Workmen’s
Compensation
Bila
seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus malpraktek
keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama, maka pasien
tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek yang dibuat
oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan workmen’s
compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap
kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa
dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Akan tetapi walaupun dengan
adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan
boleh bertindak semaunya kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori pembelaan
tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai
dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai
dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat
dijadikan alasan pembelaan baginya.
Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa
seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada
peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun terdapat
peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam memberikan
pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus memberikan
pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang
dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat, seorang tenaga
kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan tidak
sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika terjadi
sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang ditolongnya itu, maka tenaga kesehatan
tersebut tetap dapat dituntut secara hukum.
B.
KODE
ETIK KEBIDANAN
1. Definisi
Kode etik adalah
norma norma yang harus di indahkan oleh setiap prefesi di dalam melaksanakan
tugas profesinya dan di dalam hidupnya di masyarakat (Wahyuningsih 2008).
Kode
Etik juga merupakan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan
suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara
sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi
perbuatan yang tidak profesional
Kode etik juga
di artikan sebagai suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai nilai
internal dan eksternal suatu disiplin
ilmu dan merupakan pengetahuan yang komprehensif suatu profesi yang memberikan
tuntunan bagi anggota bidan dalam melaksanakan pengabdiannya.Profesi adalah
moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita cita dan nilai bersama.
2. Tujuan
a. Menjujung
tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini semua anggaota
profesi kebidanan yang akan menjunjung tinngi martabatnya,oleh karena itu
setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindakan yang
dapat mencemarkan nama baik profesinya tersebut.
b. Menjaga
dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
Yang di maksud dengan kesejahteraan
disini adalah kesejahteraan material dan spiritual dari anggota profesi
tersebut.Kode etik juga menciptakan peraturan peraturan yang di tujukan kepada
pembahasan tingkah laku yang tidak pantas di lakukan oleh seorang bidan.
c. Meningkatka
pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini profesi dengan
mudah mengetahui tugas dan tanggung
jawab pengabdian profesinya.Oleh karena itu dalam kode etiik merumuskan
ketentuan ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam
menjalankan tugasnya.
d. Meningkatkan
mutu profesi
Dengan adanya kode etik ini dapat
memelihara dan meningkatkan mutu profesi
dalam menjalankan pengabdiannya.
e. Dimensi
kode etik
1) Anggota
profesi dan klien
2) Anggota
profesi dan system
3) Anggota
profesi dan profesi baru
4) Semua
anggota profesi
f. Prinsip
kode etik
1) Menghargai
otonomi
2) Melakukan
tindakan yang benar
3) Mencegah
tindakan yang dapat merugikan
4) Memperlakukan
manusia secara adil
5) Menjelaskan
dengan benar
6) Menepati
janji yang telah disepakati
7) Menjaga
kerahasiaan
Bidan merupakan salah satu unsur tenaga medis yang berperan dalam
mengurangi angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan, baik dalam proses
persalinan maupun dalam memberikan penyuluhan atau panduan bagi ibu hamil.
Melihat besarnya peranan bidan tersebut, maka haruslah ada pembatasan yang
jelas mengenai hak dan kewajiban dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan bidan
tersebut. Maka, dibuatlah Kode Etik bidan, dimana kode etik tersebut merupakan
suatu pernyataan kemprehensif dan profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota
untuk melaksanakan praktek profesinya, baik yang berhubungan dengan klien
sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun terhadap teman sejawat, profesi
dan diri sendiri, sebagai kontrol kualitas dalam praktek kebidanan.
Kode Etik adalah norma-norma yang harus diindahkan
oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas
profesinya dan dalam hidupnya dimasyarakat. Dalam Rapat Kerja
Nasional Ikatan Bidan Indonesia Tahun 1991 secara umum kode etik tersebut
berisi 7 bab yang dapat dibedakan menjadi tujuh bagian, yaitu :
1. Kewajiban
Bidan terhadap klien dan masyarakat
2. Kewajiban
bidan terhadap tugasnya
3. Kewajiban
bidan terhadap teman sejawat dan tenaga kesehatan lainya
4. Kewajiban
bidan terhadap profesinya
5. Kewajiban
bidan terhadap diri sendiri
6. Kewajiban
bidan terhadap pemerintah,nusa bangsa dan tanah air
7. Penutup
Sesuai keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang standar profesi bidan, di
dalamnya terdapat kode etik bidan Indonesia. Diskripsi kode etik bidan
Indonesia adalah merupakan suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai nilai
internal suatu disiplin ilmu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan
komprehensif profesi bidan yang memberikan tuntutan bagi anggota dalam
melaksanakan tugasnya perofesinya. Kode etik profesi bidan juga merupakan suatu
pedoman dalam tata cara dan keselarasan dalam melaksanakan pelayanan kebidanan.
3. Penyimpangan
kode Etik
Kode etik diharapkan mampu menjadi sebuah pedoman yang nyata bagi para
bidan dalam menjalankan tugasnya. Tapi pada kenyataannya para bidan masih
banyak yang melakukan pelanggaran terhadap kode etiknya sendiri dalam pemberian
pelayanan terhadap masyarakat.
Dalam kasus skenario 4 bahwa bidan yang menolong persalinan
tersebut banyak melakukan penyimpangan pelayanan kebidanan yang tidak
seharusnya dilakukan oleh bidan seperti tehnik kristeller, episiotomy yang
terlalu lebar, bayi meninggal, perdarahan karena robekan uterus dan akhirnya
dirujuk dan dilakukan tindakan histerektomi. Mestinya bidan sudah mempunyai
ketrampilan dalam pertolongan persalinan sehingga penyimpangan penyimpangan ini
tidak terjadi sebelum melakukan pertolongan
bidan juga harus melihat penapisan awal
terlebih dahulu apakah pasien ini beresiko, bila menemukan pasien ini
beresiko mestinya bidan tersebut melakukan rujukan terencana.
Bentuk dari pelanggaran ini bermacam-macam. Seperti pemberian pelayanan
yang tidak sesuai dengan kewenangan bidan yang telah diatur dalam Permenkes
Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan.
Contoh pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh bidan adalah penangan
kasus kelahiran sungsang, melakukan aborsi, menolong partus patologis dan yang
lainnya. Untuk kasus kelahiran sungsang jika bidan melakukan pertolongan
sendiri maka bertentangan dengan
a. Undang-Undang
Kesehatan Pasal 5 Ayat (2) yang menyatakan bahwa ) “Setiap orang
mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman
b. PERMENKES RI tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Pada
Pasal 10 point (d) disebutkan bahwa “Pelayanan kebidanan kepada
ibu meliputi pertolongan persalinan
normal
C. Standar Pelayanan Kebidanan
Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang
bermutu, ditetapkan standaarisasi intitusi kesehatan, izin penyelenggaraan
pelayanan kesehatan diberikan pada intitusi kehatan yang memnuhi standar yang telah ditetapkan. Dengan adanya
ketentuan tentang standarisasi, dengan demikian ruang lingkup standar pelayanan
kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkan sebagai berikut :
a.
Standar
pelayanan umum (2 standar)
1
Standar 1 : Persiapan untuk
Kehidupan Keluarga Sehat
Bidan memberikan penyuluhan dan nasehat
kepada perorangan, keluarga dan masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan
dengan kehamilan, termasuk penyuluhan kesehatan umum, gizi, keluarga berencana,
kesiapan dalam menghadapi kehamilan dan menjadi calon orang tua, menghindari
kebiasaan yang tidak baik dan mendukung kebiasaan yang baik.
2
Standar 2 : Pencatatan dan
Pelaporan
Bidan melakukan pencatatan semua
kegiatan yang dilakukannya, yaitu registrasi. Semua ibu hamil di wilayah kerja,
rincian pelayanan yang diberikan kepada setiap ibu hamil/bersalin/nifas dan
bayi baru lahir, semua kunjungan rumah dan penyuluhan kepada masyarakat. Di
samping itu bidan hendaknya mengikutsertakan kader untuk mencatat semua ibu
hamil dan meninjau upaya masyarakat yang berkaitan dengan ibu hamil dan bayi
baru lahir. Bidan meninjau secara teratur catatan tersebut untuk menilai
kinerja dan penyusunan rencana kegiatan untuk meningkatkan pelayanannya.
b.
Standar
Pelayanan Antenatal (6 standar)
3
Standar 3 : Identifikasi
Ibu Hamil
Bidan melakukan kunjungan rumah dan
berinteraksi dengan masyarakat secara berkala untuk memberikan penyuluhan dan
memotivasi ibu, suami, dan anggota keluarganya agar mendorong ibu untuk
memeriksakan kehamilannya sejak dini dan secara teratur
4
Standar 4 : Pemeriksaan dan
Pemantauan Antenatal
Bidan memberikan sedikitnya 4x pelayanan
antenatal. Pemeriksaan meliput anamnesis dan pemantauan ibu janin dengan
seksama untuk menilai apakah perkembangan berlangsung normal. Bidan juga harus
mengenali kehamilan risti/ kelainan, khususnya anemia, kurang gizi, hipertensi,
PMS, infeksi HIV, memberikan pelayanan imunisasi, nasehat dan penyuluhan
kesehatan serta tugas terkait lainnya yang diberikan oleh puskesmas. Mereka
harus mencatat data yang tepat pada setiap kunjungan. Bila ditemukan kelainan,
mereka harus mampu mengambil tindakan yang diperlukan dan merujuknya untuk
tindakan selanjutnya.
5
Standar 5 : Palpasi dan
Abdominal
Bidan melakukan pemeriksaan abdominal
dan melakukan palpasi untuk memperkirakan usia kehamilan; serta bila kehamilan
bertambah memeriksa posisi, bagian terendah janin dan masuknya kepala janin
kedalam rongga panggul, untuk mencari kelainan dan melakukan rujukan tepat
waktu.
6
Standar 6 : Pengelolaan
Anemia pada Kehamilan
Bidan melakukan tindakan pencegahan,
penemuan, penanganan dan rujukan semua kasus anemia pada kehamilan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
7
Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi pada
Kehamilan
Bidan menemukan secara dini setiap
kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan mengenal tanda serta gejala
preeklampsia lainnya, serta mengambil tindakan yang tepat dan merujuknya.
8
Standar 8 : Persiapan
Persalinan
Bidan memberikan saran yang tepat
kepada ibu hamil, suami serta keluarganya pada trimester ketiga, untu
memastikan bahwa persiapan persalinan yang bersih dan aman serta suasana yang
menyenangkan akan direncanakan dengan baik, disamping persiapan transportasi
dan biaya untuk merujuk, bila tiba-tiba terjadi keadaan gawat darurat. Bidan hendaknya
melakukan kunjungan rumah untuk hal ini.
c.
Standar
Pertolongan Persalinan (4 standar)
9
Standar 9 : Asuhan
Persalinan Kala I
Bidan menilai secara tepat bahwa
persalian sudah mulai, kemudian memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai,
dengan memperhatikan kebutuhan klien, selama proses persalinan berlangsung.
10
Standar 10 : Persalinan Kala
II yang Aman
Bidan melakukan pertolongan persalinan
yang aman, dengan sikap sopan dan penghargaan terhadap klien serta
memperhatikan tradisi setempat
11
Standar 11 : Penatalaksanaan
Aktif Persalinan Kala III
Bidan melakukan penegangan tali pusat
dengan benar untuk membantu pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara
lengkap
12
Standar 12 : Penanganan Kala
II dengan Gawat Janin melalui Episiotomi
Bidan mengenali secara tepat
tanda-tanda gawat janin pada kala II yang lama, dan segera melakukan episiotomi
dengan aman untuk memperlancar persalinan, diikuti dengan penjahitan
perineum.
d.
Standar
Pelayanan Nifas (3 standar)
13
Standar 13 : Perawatan Bayi
Baru Lahir
Bidan memeriksa dan menilai bayi baru
lahir untuk memastikan pernafasan spontan mencegah hipoksia sekunder, menemukan
kelainan, dan melakukan tindakan atau merujuk sesuai dengan kebutuhan. Bidan
juga harus mencegah atau menangani hipotermia.
14
Standar 14 :Penanganan pada
Dua Jam Pertama Setelah Persalinan
Bidan melakukan pemantauan ibu dan bayi
terhadap terjadinya komplikasi dalam dua jam setelah persalinan, serta
melakukan tindakan yang diperlukan. Di samping itu, bidan memberikan penjelasan
tentang hal-hal yang mempercepat pulihnya kesehatan ibu, dan membantu ibu untuk
memulai pemberian ASI.
15
Standar 15
:Pelayanan bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas
Bidan memberikan pelayanan selama
masa nifas melalui kunjungan rumah pada hari ketiga, minggu kedua dan minggu
keenam setelah persalinan, untuk membantu proses pemulihan ibu dan bayi melalui
penanganan tali pusat yang benar, penemuan dini penanganan atau rujukan
komplikasi yang mungkin terjadi pada masa nifas, serta memberikan penjelasan
tentang kesehatan secara umum, kebersihan perorangan, makanan bergizi,
perawatan bayi baru lahir, pemberian ASI, imunisasi dan KB.
e.
Standar
Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri-Neonatal (9 standar)
16
Standar 16 : Penanganan
Perdarahan dalam Kehamilan pada Trimester III
Bidan mengenali secara tepat tanda dan
gejala perdarahan pada kehamilan, serta melakukan pertolongan pertama dan
merujuknya.
17
Standar 17 : Penanganan
Kegawatan dan Eklampsia
Bidan mengenali secara tepat tanda dan
gejala eklampsia mengancam, serta merujuk dan/atau memberikan pertolongan
pertama
18
Standar 18 : Penanganan
Kegawatan pada Partus Lama/Macet
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala
partus lama/macet serta melakukan penanganan yang memadai dan tepat waktu atau
merujuknya
19
Standar 19 : Persalinan
dengan Penggunaan Vakum Ekstraktor
Bidan mengenali kapan diperlukan
ekstraksi vakum, melakukannya dengan benar dalam memberikan pertolongan
persalinan dengan memastikan keamanannya bagi ibu dan janin/bayinya.
20
Standar 20 : Penanganan
Retensio Plasenta
Bidan mampu mengenali retensio
plasenta, dan memberikan pertolongan pertama termasuk plasenta manualdan
penanganan perdarahan, sesuai dengan kebutuhan.
21
Standar 21 : Penanganan
Perdarahan Post Partum Primer
Bidan mampu mengenali perdarahan yang
berlebihan dalam 24 jam pertama setelah persalinan (perdarahan post partum
primer) dan segera melakukan pertolongan pertama untuk mengendalikan perdarahan.
22
Standar 22 : Penanganan
Perdarahan Post Partum Sekunder
Bidan mampu mengenali secara tepat dan
dini tanda serta gejala perdarahan post partum sekunder, dan melakukan
pertolongan pertama untuk penyelamatan jiwa ibu, atau merujuknya.
23
Standar 23 : Penanganan
Sepsis Puerperalis
Bidan mampu mengamati secara tepat
tanda dan gejala sepsis puerperalis, serta melakukan pertolongan pertama atau
merujuknya.
24
Standar 24 : Penanganan
Asfiksia Neonatorum
Bidan mampu mengenali dengan tepat bayi
baru lahir dengan asfiksia, serta melakukan resusitasi, mengusahakan bantuan
medis yang diperlukan dan memberikan perawatan lanjutan.
Dalam scenario jelas dapat di simpulkan bahwa bidan
tersebut telah banyak melakukan penyimpangan penyimpangan dalam menjalankan
praktek kebidanannya seperti melakukan tindakan kristeler,episiotomy yang
terlau lebar,bayi meninggal dunia,ibu nya perdarahan dan harus di histerektomi
serta bidan tidak mempunyai fasilitas yang memadai dalam mendukung pelayanan
kebidanan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomer 1464/Menkes/Per/X/2010
Bab 1 Pasal 6 yang berbunyi “Standar adalah pedoman yang harus di
gunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar
pelayanan,standar profesi dan standar operasional prosedur” dan pasal 18 ayat
1g yang berbunyi “mematuhi standar”.
Kewenangan Praktik Kebidanan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 1464 /Menkes/Per/ X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik
Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan
meliputi:
1.
Kewenangan normal:
·
Pelayanan kesehatan ibu
·
Pelayanan kesehatan anak
·
Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana
2. Kewenangan
dalam menjalankan program Pemerintah
3. Kewenangan
bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter
Menurut kode
etik kebidanan,bidan tersebut juga melakukan penyimpangan kewajiban terhadap
tugasnya seharusnya setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai
dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk keputusan mengadakan
konsultasi dan atau rujukan.Bila di hubungkan dengan kasus dalam scenario bidan
tersebut seharusnya melakukan penapisan awal sebelum melakukan tindakan
pertolongan persalinan,apakah pasien tersebut mempunyai komplikasi atau
penyulit di dalam persalinannya nanti misalnya hamil dengan bayi besar. Maka
dengan kita dapat mengenali penapisan awal dan di lakukan rujukan terencana pasien akan menjalani persalinannya
dengan aman di rumah sakit,sehingga kejadian rupture uteri dapat di hindarkan.
Dalam
organisasi Ikatan Bidan Indonesia mempunyai MPEB (Majelis Pertimbangan Etik
Bidan) yang merupakan badan perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan
dengan tuntutan dari pasien akibat pelayanan yang di berikan dan tidak
melakukan indikasi penyimpangan hukum.MPEB bertujuan mengupayakan peningkatan
mutu pelayanan yang di berikan oleh bidan
dalam masyarakat sesuai dengan mengamalkan ketentuan ketentuan kode
etik Bidan Indonesia.
Kode
etik merupan norma yang berlaku bagi anggota IBI dalam menjalankan praktek
profesi sebagai bidan yang telah di sepakati dalam Kongres Nasional Ikatan
Bidan Indonesia.Keberadaan MPEB bertujuan untuk :
1. Meningkatkan
citra Ikatan Bidan Indonesia dalam meningkatkan mutu pelayanan yang di berikan
bidan.
2. Terbentuknya
lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap kode etik Bidan Indonesia.
3. Meningkatkan
kepercayaan diri anggota IBI
4. Meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayanan.
Tugas dan wewenang MPA dan MPEB adalah memberikan
bimbingan pembinaan serta pengawasan etik profesi meneliti dan menetukan ada
atau terhadap kesalahan dan kelalaian bidan dalam memberikan pelayanannya etika
profesi ialah norma norma yang berlaku bagi bidan dalam memberikan pelayanan
profesinya seperti yang tercantum dalam kode etik bidan.
Bidan
harus mengetahui dan menghormati norma norma yang hidup dalam masyarakat
seperti :
1. Norma
Agama
2. Norma
Hukum
3. Norma
Etik yaitu norma sopan santun,adat istiadat dan lain lain
Bidan harus sesuai dengan profesinya serta fungsinya
untuk memberikan pelayanan KIA/KB hubungan pribadi setiap bidan dengan
pasiennya sangat erat,yang perlu di perhara dan dibina sebaik mungkin,sehingga
hubungan bidan dan masyarakat yang memerlukan jasa bidan dapat berjalan dengan
baik secara terus menerus.
D. Tinjauan Islam Terkait Malpraktik
Ayat Alqur’an terkait
Malpraktik terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 92 yang artinya :
“Dan barang siapa membunuh
seseorang yang beriman karena tersalah (Hendaklah) dia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) kecuali jika (keluarga terbunuh) membebaskan
pembayaran”.
Para Fuqaha bersepakat apabila tabib atau dokter
lalai (culpa) dalam tindakannya, maka ia harus membayar diyat.
(Anita, 2009)
E. UU terkait Malpraktik
Undang-undang
republic Indonesia nomor 36 tahun 2009 BAB VII Tentang Kesehatan Ibu, Bayi,
Anak, Remaja, Lanjut Usia, dan
Penyandang Cacat Bagian ke satu : kesehatan ibu, bayi dan anak
Pasal
126
(1) Upaya
kesehatan ibu harus ditujukan untuk
menjaga kesehatan ibu sehingga mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian
ibu.
(2) Upaya
kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative.
(3) Pemerintah
menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu dan terjangkau.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan peraturan
pemerintah.
Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
secara langsung menggunakan istilah malpraktek. Begitu juga dalam hukum
kesehatan Indonesia yang berupa UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak
menyebutkan secara resmi istilah malpraktek. Tetapi hanya menyebutkan kesalahan
atau kelalaian dalam melaksanakan profesi yaitu yang tercantum dalam Pasal 54
dan 55 UU Kesehatan.
Pasal 54:
(1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi dan tata kerja
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 55:
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomer 1464/menkes/per/X/2010
PP
IBI 2007,50 Tahun Ikatan Bidan Indonesia
, Jakarta,cetakan ke 4
Wahyuningsih
H, 2008, Etika Profesi Kebidanan,
Yogyakarta, Fitrayama
Anita, W. (2009). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana
Malpraktik Kedokteran. Institusi Agama Islam Negeri Walisongo.
Dampang, G. dan. (2011). Makalah Malpraktik keperawatan. Retrieved from
biowawan.blogspot.com/2011/10/makalah-keperawatan-part-IV.html
Drs. Julianus Ake, S.Kp, M. K. (2012). Mall Parktik Dalam Ilmu
Keperawatan. jakarta: EGC.
Gruendeman, B. J., & Fernsebner, B. (2006). Buku Ajar Keperawatan
Perioperatif (1st ed.). jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar