BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan
Teori
1.
Faktor
risiko
a. Pengertian
Faktor risiko ialah faktor-faktor atau
keadaan-keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status
kesehatan tertentu (Notoatmojo, 2012)
. Menurutt WHO, definisi faktor risiko adalah ciri atau kondisi yang
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang, yang berhubungan dengan adanya
peningkatan terhadap kemungkinan/risiko untuk mengalami atau berkembangnya
keadaan yang tidak diharapkan (Backett, Davies, & Barvazian, 1984).
Ada dua macam faktor
risiko, yaitu:
1) Faktor
risiko yang berasal dari organisme itu sendiri ( faktor risiko intrinsik).
Faktor risiko intrinsik ini dibedakan menjadi:
a) Faktor
jenis kelamin dan usia
b) Faktor-faktor
anatomi atau konstitusi tertentu
c) Faktor
nutrisi
2)
Faktor risiko yang
berasal dari lingkungan (faktor risiko ekstrinsik) yang memudahkan seseorang
terjangkit suatu penyakit tertentu, misalnya keadaan fisik, kimiawi, biologis,
psikologis, sosial budaya dan perilaku (Notoatmojo, 2012)
2.
Asfiksia
pada bayi baru lahir
a.
Pengertian
WHO mendevinisikan asfiksia pada bayi
baru lahir adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir atau beberapa saat setelah lahir. Ikatan Dokter Indonesia
mendefinisikan asfiksia neonatorum adalah
kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat
setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis (JNPK-KR, 2008).
Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya intake
oksigen sebelum, selama atau sesaat setelah dilahirkan. Bayi baru lahir secara
normal akan bernafas tanpa bantuan dan biasanya menangis setelah dilahirkan (Depkes RI, 2006).
American College of Obstetricians and
Gynecologist mendefinisikan Asfiksia pada bayi baru lahir adalah semua
tanda-tanda berikut: PH arteri Cord
< 7,00, skor apgar 5 menit < 3, ensefalopati sedang atau berat pada masa
neonatus dan bukti kegagalan organ lain atau disfungsi (Lee, Darmstadt, & Luke C, 2008).
Menurut Oswyni et al. (2002), asfiksia bayi baru lahir yang parah dapat
mengakibatkan gagal bernafas, gangguan metabolic seperti hypoglycemia dan hypocalcemia,
kerusakan ginjal dan necrotizing
enterocolitis. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan atau segera setelah bayi lahir.
b.
Patofisioligi
Transisi dari kehidupan intrauterin ke
ekstrauterin melibatkan serangkaian perubahan fisiologis kompleks yang dimulai
sebelum lahir. Transisi ini dapat terganggu oleh berbagai peristiwa antepartum
atau intrapartum yang menyebabkan depresi kardiorespirasi, asfiksia atau
keduanya. Akibat dari hal tersebut dapat mencakup ensefalopati
hipoksik-iskemik, hipertensi pulmonal persisten, dan kegagalan sistem
multiorgan.
Bayi
baru lahir dengan asfiksia yang menetap dan berat akan meningkatkan usaha pernafasan
dan kemudian diikuti oleh periode apnea primer. Selama apnea primer denyut
jantung menurun namun tekanan darah dapat tetap terjaga. Dengan asfiksia yang
terus berlanjut, bayi ini mulai mengalami sesak (gasping) dan denyut jantung menurun. Setelah beberapa menit,
setelah gasping terakhir, terdapat apnea sekunder. Untuk mengembalikan ke
keadaan semula maka diperlukan ventilasi tekanan positif (Lissauer & Fanaroff, 2009).
c. Pengkajian Asfiksia pada
bayi baru lahir
Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal (2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum
untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu:
1)
Pernafasan
Observasi
pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan auskultasi bila perlu
lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, nafas
tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi
baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau tidak sama
sekali.
2)
Denyut
jantung
Kaji
frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan denyutan
umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka
ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang
signifikan.
3)
Warna
Kaji
bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer
(akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari.
Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi
berwarna merah muda, biru, atau pucat.
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan
komponen skor apgar. Dua komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap
rangsangan menggambarkan depresi Sistem saraf pusat pada bayi baru lahir yang
mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak
berhubungan (Fauziah, 2013).
Tabel 1.1
Skor APGAR
Tanda
|
0
|
1
|
2
|
1.
Frekuensi
jantung
2.
Tonus
otot
3.
Pernafasan
4.
Refleks
5.
Warna
kulit
|
Tidak ada
Tidak ada
Lemah
Tidak respon
Biru/pucat
|
<100 menit, pelan, irreguler
Ada fleksi
Menyeringai
Tubuh merah
Ekstremitas biru
|
>100 menit baik, menangis.
Gerak aktif
Batuk, bersin
Menangis
Seluruh merah
|
Nilai apgar menunjukkan kondisi bayi
segera setelah lahir dan bila digunakan, dapat menunjukkan patokan untuk
mencatat transisi janin ke bayi baru lahir. Masing-masing dari 5 tanda diberi
nilai 0,1 atau 2. Kelima nilai tersebut kemudian dijumlah dan inilah yang disebut
nilai apgar. Nilai apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah
bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian
pernafasan, denyut jantung atau warna kulit, maka penilaian ini harus segera
dilakukan. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena
sangat membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat (Prawirohardjo, 2006).
Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam
pengambilan keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya
penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai
Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang dari 7
penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit
atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih (Saifuddin, Adriansz, & Wiknjosastro, 2009).
Berdasarkan penilaian klinis, maka
asfiksia pada bayi baru lahir dapat dibagi dalam:
1) Bayi
sehat atau tidak asfiksia: nilai apgar 7-10, bayi tidak memerlukan tindakan
istimewa.
2) Asfiksia
sedang: nilai apgar 4-6, pada pemeriksaan fisik terlihat frekuensi jantung
lebih 100 per menit, tonus otot kurang baik, sianosis, refleks iritabilitas
tidak ada.
3) Asfiksia
berat: nilai apgar 0-3, pada pemeriksaan fisik terlihat frekuensi jantung
kurang 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, kadang-kadang pucat,
refleks iritabilitas tidak ada (Biddulph & Stace, 1999).
d.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir
1) Faktor
yang langsung menyebabkan asfiksia bayi baru lahir adalah:
a) Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat
badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Bayi berat
badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat lahir kurang
dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi (Umboh, 2013).
Adapun Komplikasi yang
dapat terjadi pada bayi BBLR sebagai berikut:
(1) Sindrom
gangguan pernafasan
(2) Pneumonia
asfirasi, karena refleks menelan dan batuk belum sempurna
(3) Perdarahan
spontan pada otak
(4) Hipotermia
Hiperbilirubinemia
(Prawirohardjo, 2006).
b) Bayi
Preterm (Prematur)
Bayi
preterm (prematur) adalah bayi yang lahir dalam usia gestasi (usia kehamilan
kurang dari 37 minggu (WHO. 2012b). Lee (2006) mengemukakan bayi prematur
(<37 minggu) lebih berisiko untuk meninggal karena asfiksia. Umumnya
gangguan telah dimulai sejak di kandungan. Adapun klasifikasi prematuritas
yaitu:
(1)
Usia kehamilan 31-36 minggu disebut
persalinan prematur sedang
(2)
Usia kehamilan 24-30 minggu disebut
persalinan sangat prematur (Prawirohardjo, 2006).
Bayi
prematur memiliki karakteristik anatomi dan fisiologi yang berbeda dibandingkan
dengan bayi cukup bulan. Karakteristik ini antara lain:
(1) Paru-paru
kekurangan surfaktan, yang dapat menyulitkan ventilasi
(2) Verkembangan
otak imatur, sehingga upaya untuk bernafas kurang
(3) Otot
lemah, menambah sulitnya pernafasan spontan
(4) Kulit
tipis, area permukaan kulit luas dan kadar lemak lebih rendah, yang memudahkan
bayi kehilangan panas.
(5) Kemungkinan
bayi lahir dengan infeksi lebih besar
(6) Pembuluh
darah diotak sangat rapuh, yang mudah menyebabkan perdarahan pada keadaan
stress
(7) Volume
darah lebih sedikit, lebih rentan terhadap efek hipovolemik aliran darah
(8) Jaringan
imatur, mudah cidera.
(American Academy Of Pediatrics (AAP) & American
Heart Association (AHA), 2011).
Persalinan prematur sulit diduga dan
sulit dicari penyebabnya, sehingga pengobatannya sukar dapat diterapkan dengan
pasti. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan persalinan prematur adalah:
(1) Kondisi
sosial ekonomi rendah
(2) Penyakit
ibu yang menyertai kehamilan
(3) Perkembangan
dan keadaan hamil misalnya Hidramnion dan kehamilan kembar
(4) Kelainan
anatomi rahim
(Manuaba, 2013).
c) Preeklampsia/Eklampsia
Preeklampsia
yang juga dikenal dengan toxemia
gravidarum adalah suatu kondisi yang spesifik pada kehamilan, terjadi pada
minggu ke 20 gestasi, ditandai dengan hipertensi, proteinuria dan oedema (WHO, 2002).
Preeklampsia adalah keadaan hipertensi disertai dengan proteinuria, oedema atau
keduanya yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke 20 atau kadang-kadang
timbul lebih awal bila terdapat hidatiformis yang luas pada vili khorialis (Chunningham et al., 2009).
Preeklampsia
merupakan perkembangan hipertensi gestasional yang ditandai dengan gangguan
pada ginjal, yang dibuktikan dengan awitan proteinuria. Hal ini disebabkan oleh
penurunan perfusi satu organ atau lebih, yang disebabkan vasopasme dan
kerusakan lapisan (endotelium) arteriol.
Pada ibu hamil terjadi sekitar 5%, tetapi insiden yang lebih tinggi
sering terjadi pada wanita berusia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun, nulipara, dan wanita yang memiliki janin kembar. preeklampsia dapat
berkembang menjadi eklampsia yaitu sebagai awitan aktivitas kejang atau koma pada
ibu hamil (Kennedy, Ruth, & Martin, 2013a).
Onyearugha & Ugboma (2012), menyatakan bahwa ibu yang mengalami eklampsia
beresiko bayi yang dilahirkan mengalami asfiksia.
(1) Klasifikasi
pre eklampsia
Tabel
1.2 Klasifikasi pre eklampsia
Tipe Pre-eklampsia
|
Tanda dan Gejala
|
Pre-eklampsia
ringan
|
a.
Tekanan darah sistolik 140 atau
kenaikan 30 mm Hg dengan
b. interval
pemeriksaan 6 jam
c. Tekanan
darah diastolik 90 atau kenaikan 15 mm Hg dengan interval pemeriksaan 6 jam.
d. Kenaikan
berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu
e. Proteinuria
0,3 g atau lebih dengan tingkat kualitatif plus 1 sampai 2 pada urine kateter
atau urine aliran pertengahan.
|
Pre-eklampsia
berat
|
a.
Bila salah satu di antara gejala atau
tanda pada ibu hamil, sudah dapat digolongkan pre-eklampsia berat.
b. Tekanan
darah 160/110 mm Hg
c. Oliguria,
urine <400 cc/24 jam
d. Proteinuria
lebih dari 3 g/liter
e. Keluhan
subjektif: nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, edema paru
dan sianosis
f. Gangguan
kesadaran
g. Pemeriksaan
kadar enzim hati meningkat disertai ikterus
h. Perdarahan
pada retina
i.
Trombosit
<100.000/mm
|
(Manuaba, 2013).
(2) Komplikasi
Komplikasi dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu:
(a) Pada
ibu: oedema paru, perdarahan otak, aspirasi cairan lambung, kegagalan jantung,
solusio plasenta, gangguan fungsi ginjal (oligo sampai anuria), gangguan visus
(ablasio retina), gangguan fungsi hati dan menimbulkan ikterus.
(b) Pada
janin: gangguan pertumbuhan janin, prematuritas, asfiksia intrauterin, dan
gawat janin sampai kematian janin (Turner, 2010).
(3) Penanganan
Tujuan
utama penangan adalah mencegah terjadinya komplikasi preeklampsia dan eklampsia
sehingga dapat melahirkan janin hidup dan meminimalkan trauma pada janin.
Prinsif penanganan preeklampsia/eklampsia adalah: mencegah dan mengatasi
kejang, mencegah komplikasi dengan pemberian anti hipertensi, memperbaiki
diuresis dan pemberian obat-obat lain. Pertolongan persalinan dengan
meminimalkan trauma, pemberian anti hipertensi untuk mencegah perdarahan otak
dan penurunan tekanan perfusi plasenta (Prawirohardjo, 2006).
d)
Jenis persalinan
Persalinan didefinisikan secara medis sebagai
kontraksi uterus yang teratur dan semakin kuat, menciptakan penipisan dan
dilatasi serviks disepanjang waktu, yang menimbulkan dorongan kuat untuk melahirkan janin melalui
jalan lahir melawan resistansi jaringan lunak, otot dan struktur tulang panggul
(Kennedy, Ruth, & Martin, 2013b). Menurut
cara persalinan, dibagi menjadi:
(1)
Partus biasa (normal), disebut juga
partus spontan, adalah proses lahirnya bayi dengan letak belakang kepala dengan
tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat, serta tidak melukai ibu dan bayi
yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam.
(2)
Partus luar biasa (abnormal) ialah
persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan
operasi sesar (Sofian, 2013).
Zainuddin et all (2013) mengemukakan adanya hubungan yang bermakna antara
jenis persalinan dan asfiksia neonatorum (P=0,00), dimana persalinan seksio
sesarea dengan presentase terbesar pada bayi asfiksia yakni 62%.
Konishi, N. M., Miyake, H., & Suzuki, S (2012) menyatakan bahwa asfiksia bayi baru
lahir berkaitan erat dengan persalinan seksio sesaria (OR, 3.24; 95% CI,
1.0―11; p=0.04). hasil penelitian ini mengindikasikan perlunya konseling kepada
pasien terkait tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada bayi
setelah seksio sesaria.
e) Ketuban
pecah dini (KPD)
Ketuban
pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum proses persalinan berlangsung
atau sebelum terdapatnya tanda persalinan, dan setelah ditunggu satu jam belum
dimulainya tanda persalinan (Manuaba, 2013). Penyebab pasti KPD belum diketahui
secara pasti, akan tetapi ada beberapa faktor risiko seperti infeksi, distensi
uterus, dan IMS sehingga menyebabkan berkurangnya kekuatan membran. Risiko yang
berhubungan dengan kejadian KPD terutama pada bayi meliputi cedera tali pusat,
asfiksia pada bayi baru lahir, dan infeksi.
Gilang
(2011), menyatakan ada hubungan ketuban pecah dini (KPD) dengan kejadian
asfiksia pada bayi baru lahir. Risiko
terjadinya asfiksia bayi baru lahir pada ibu yang mengalami ketuban pecah dini
(KPD) sebesar 9,5 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang ketuban pecah
normal.
(1) Diagnosis
Gejala
yang menunjukkan KPD harus cepat dievaluasi dan didiagnosis secara akurat untuk
menentukan manajemen yang tepat seperti berikut:
(a) Observasi
cairan amnion yang keluar dari serviks merupakan metode terbaik untuk
menegakkan diagnosis.
(b) Jika
diagnosis masih meragukan, kertas nitrazine dapat digunakan untuk menguji pH
cairan. pH cairan vagina biasanya 4,5 sampai 6,0. Cairan amnion memiliki pH
yang lebih tinggi, yakni 7,1 sampai 7,3 sehingga mengubah kertas Nitrazine
menjadi biru (hasil positif). Positif palsu dapat terjadi jika terdapat darah,
semen, atau infeksi, seperti vaginosis bakterial.
(c) Ferning
merupakan uji lain yang dapat dilakukan. Cairan dari kubah vagina posterior
dipulas pada kaca objek dan dibiarkan kering. Dibawah pemeriksaan mikroskopik,
adanya pola ferning (pakis) menunjukkan cairan amnion.
(d) Pengukuran
volume cairan amnion dengan ultrasonografi juga bermanfaat, tetapi tidak boleh
digunakan untuk mendiagnosis KPD (Kennedy, Ruth & Martin, 2013 &
Prawirohardjo, 2006).
f) Ketuban
Bercampur Mekonium
Disebut air ketuban bercampur
mekonium bila berwarna hijau kekuningan,
keruh dan mengandung mekonium. Terisapnya cairan
amnion yang tercemar mekonium ke dalam paru yang dapat terjadi pada saat
intrauterin, persalinan dan kelahiran dapat mengakibat bayi mengalami asfiksia.
g)
Perdarahan antepartum
Perdarahan
antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu.
Perdarahan vagina yang bermakna terjadi pada 5%-10% kehamilan lanjut dan harus
dinilai dengan seksama karena perdarahan antepartum merupakan penyebab terbesar
kesakitan dan kematian ibu serta penyebab kesakitan dan kematian perinatal.
Sebagian besar pasien mengalami perdarahan <500 ml, tetapi perdarahan serius
>500 ml terjadi pada 2%-3% kehamilan. Komplikasi yang menyertai perdarahan
antepartum antara lain adalah syok, peningkatan risiko persalinan preterm,
hipoksia janin dan kematian janin tiba-tiba (sudden fetal death) (Sofian, 2011,
Benso, R. C & Pernoll, M. L, 2008 & Krisnadi et all, 2012).
Jenis
perdarahan antepartum yang terjadi dapat berupa:
(1)
Perdarahan dengan rasa nyeri,
mengindikasikan solusio plasenta
(2)
Perdarahan tanpa nyeri
mengindikasikan plasenta previa perlu diketahui bahwa plasenta previa diikuti
dengan persalinan dapat menimbulkan nyeri yang hebat dan sekitar 10% plasenta
previa dapat berasosiasi dengan solusio plasenta.
Gilang, dkk
(2011) mengemukakan risiko terjadinya asfiksia neonatorum pada ibu yang
mengalami perdarahan antepartum sebesar 24,7 kali lebih besar dibandingkan
dengan ibu yang tidak mengalami perdarahan antepartum. Perdarahan antepartum
dapat disebabkan plasenta previa dan solusio plasenta, yang dapat menyebabkan
turunnya tekanan darah secara otomatis menyebabkan penurunan PO2. Turunnya
PO2 terjadi perubahan metabolisme sehingga pembakaran glukosa tidak
sempurna dan meninggalkan hasil asam laktat dan asam piruvat ini tidak dapat
dikeluarkan melalui plasenta menyebabkan turunnya pH darah janin sampai
7,20-7,15. Perdarahan yang mengganggu sirkulasi retroplasenta yang menimbulkan
asfiksia neonatorum (Manuaba, 2007).
h)
Anemia
Salah satu kondisi berbahaya yang sering
dialami ibu hamil adalah anemia. Anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin
(HB) dalam darah. Hb adalah komponen di dalam sel darah merah yang berfungsi
menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh. Jika HB berkurang, jaringan tubuh
kekurangan oksigen. Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses
metabolisme. Ibu hamil mempunyai tingkat metabolism tinggi, misalnya untuk
membuat jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi organ, dan juga untuk
memproduksi energy agar ibu hamil tetap bisa beraktivitas normal sehari-hari (Sinsin, 2008).
Menurut WHO, ibu hamil dikatakan anemia jika konsentrasi Hb kurang dari 11 g/dl
(7.45 mmol/L) dan hematokrit kurang dari 33 % (J.B.Sharma & Shankar, 2010) .
Akibat anemia pada ibu hamil yaitu:
a. Perdarahan
saat persalinan
b. Meningkatkan
risiko persalinan premature
c. Gangguan
jantung, ginjal dan otak
d. Berat
bayi lahir rendah (BBLR)
2) Faktor-faktor
yang tidak langsung menyebabkan asfiksia adalah:
a) Status
ekonomi keluarga
Rendahnya
status ekonomi keluarga berkaitan erat dengan asfiksia bayi baru lahir. Hasil
berbagai penelitian menunjukkan konsistensi bahwa kelompok status sosial
ekonomi yang lebih rendah cenderung tidak beruntung dalam mempertahankan
kehidupan bayi mereka pada tahun pertama . Hambatan keuangan untuk mengakses
pelayanan kesehatan bukan hanya disebabkan oleh biaya pelayanan kesehatan, akan
tetapi juga biaya transportasi, biaya untuk keluarga pendamping dan biaya hidup
selama mendampingi keluarga sakit (Depkes RI, 2004).
b) Pendidikan
Ibu
Rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya berkaitan dengan terbatasnya
pengetahuan dan informasi tentang kesehatan. Peningkatan pengetahuan keluarga
diperlukan sehingga dapat membantu membuat keputusan yang menjamin pelayanan
yang memadai (Depkes RI, 2004).
c) Perawatan
Masa Hamil
Perawatan masa hamil adalah perawatan
yang didapat oleh ibu semasa kehamilan dari tenaga kesehatan profesional untuk
membantu mengidentifikasi kebutuhan dan masalah kehamilan. Pemeriksaan
kehamilan yang disarankan minimal 4 kali selama kehamilan, yaitu dilakukan satu
kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua dan dua kali pada
trimester ke tiga (Widjaka, 2012).
Kurangnya
perawatan kehamilan, status gizi buruk , perdarahan antepartum dan toksemia ibu
dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi kejadian asfiksia pada bayi baru
lahir. Perbaikan dalam kesehatan wanita yang menguntungkan terkait dalam
pertumbuhan dan gizi perempuan harus tetap menjadi tujuan jangka panjang. Identifikasi
awal kasus berisiko tinggi dengan peningkatan pelayanan antenatal dan perinatal
dapat menurunkan angka kematian bayi akibat asfiksia yang masih tinggi (Majeed, Memon, Majeed, Shaikh, & Rajar, 2007).
d) Paritas
dan Usia Ibu
Paritas
1 dan umur muda (< 20 tahun) berisiko karena ibu belum siap secara medis
(organ reproduksi) maupun secara mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
primiparity merupakan faktor risiko yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap
mortalitas asfiksia, sedangkan paritas di atas 4 dan umur tua (> 35 tahun),
secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan. Keadaan
tersebut memberikan predisposisi untuk terjadinya perdarahan, plasenta previa,
ruptura uteri, solusio plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia
bayi baru lahir (lee, 2006 & Manuaba, 2013). Menurut koening (1999), wanita
yang mempunyai paritas tinggi maka kemungkinan untuk mempunyai kematian bayi
yang tinggi.
e) Jarak
Kelahiran
Jarak
kelahiran adalah interval waktu antara tanggal lahir satu anak ke tanggal lahir
anak berikutnya. 2-3 tahun merupakan interval yang terbaik bagi ibu dan
anaknya. Persalinan dengan interval kurang dari 24 bulan merupakan faktor
risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan dan kematian maternal (WHO, 2006).
e.
Penatalaksanaan Asfiksia pada bayi baru lahir
Tindakan
resusitasi neonatal di fasilitas pelayanan kesehatan dapat mengurangi kematian
intrapartum sebesar 30 % . Namun , cakupan intervensi ini masih rendah di
berbagai negara di mana kebanyakan kematian neonatal terjadi dan ada kesempatan
untuk menyelamatkan nyawa bayi. Kompetensi dalam resusitasi bayi baru lahir
sangat penting di kamar bersalin, unit neonatologi dan unit perawatan intensif
untuk menjamin keselamatan dan kesehatan bayi baru lahir . Setiap tahun ,
jutaan bayi tidak bernapas segera saat lahir , dan di antara mereka mayoritas
memerlukan resusitasi neonatal dasar . Resusitasi pada bayi baru lahir hanya
efektif ketika tenaga kesehatan profesional memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai (Gebreegziabher, Aregawi, & Getinet, 2014).
Tenaga kesehatan khususnya bidan harus siap melakukan resusitasi bayi baru lahir pada setiap menolong
persalinan. Persiapan yang diperlukan adalah:
a) Persiapan
keluarga
Sebelum
menolong persalinan, bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi pada ibu dan bayi dan persiapan persalinan.
b) Persiapan
tempat resusitasi:
(1) Gunakan
ruangan yang hangat dan terang
(2) Tempat
resusitasi hendaknya datar, rata, cukup keras, bersih, kering dan hangat
misalnya meja, dipan atau di atas lantai beralas tikar. Sebaiknya dekat
pemancar panas dan tidak berangin (jendela atau pintu yang terbuka).
c) Persiapan
alat resusitasi
(1) Kain
untuk mengeringkan bayi, menyelimuti bayi dan ganjal bahu bayi.
(2) Alat
penghisap lendir
(3) Alat
ventilasi
(4) Kotak
alat resusitasi
(5) Sarung
tangan
(6) Jam
atau pencatat waktu
d) Persiapan
diri
Pastikan penolong sudah menggunakan alat
pelindung diri untuk melindungi diri dari kemungkinan infeksi (Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI,
2011).
Kompetensi dalam resusitasi bayi baru
lahir sangat penting di kamar bersalin, unit neonatologi dan unit perawatan
intensif untuk menjamin keselamatan dan kesehatan bayi baru lahir . Setiap
tahun , jutaan bayi tidak bernapas segera saat lahir , dan di antara mereka
mayoritas memerlukan resusitasi neonatal dasar . Resusitasi pada bayi baru lahir
hanya efektif ketika tenaga kesehatan profesional memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai (Gebreegziabher et al., 2014).
Tindakan resusitasi neonatal di
fasilitas pelayanan kesehatan dapat mengurangi
kematian intrapartum sebesar 30 % . Namun , cakupan intervensi ini masih rendah
di berbagai negara di mana kebanyakan kematian neonatal terjadi dan ada
kesempatan untuk menyelamatkan nyawa bayi (Lee et al., 2011).