Sabtu, 20 September 2014

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG ASI

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2014

TENTANG
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
BAGI TENAGA KESEHATAN, PENYELENGGARA FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN, PENYELENGGARA SATUAN PENDIDIKAN KESEHATAN, PENGURUS ORGANISASI PROFESI DI BIDANG KESEHATAN, SERTA PRODUSEN DAN DISTRIBUTOR SUSU FORMULA BAYI DAN/ATAU PRODUK BAYI LAINNYA YANG DAPAT MENGHAMBAT KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Bagi Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan Kesehatan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya yang Dapat Menghambat Keberhasilan Program Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 4548);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
4. Peraturan ...
- 2 -
4. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5291);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BAGI TENAGA KESEHATAN, PENYELENGGARA FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN, PENYELENGGARA SATUAN PENDIDIKAN KESEHATAN, PENGURUS ORGANISASI PROFESI DI BIDANG KESEHATAN, SERTA PRODUSEN DAN DISTRIBUTOR SUSU FORMULA BAYI DAN/ATAU PRODUK BAYI LAINNYA YANG DAPAT MENGHAMBAT KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini yang dimaksud dengan:
1. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada Bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain.
2. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
3. Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah pimpinan yang bertanggung jawab menyelenggarakan fasilitas pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggara Satuan Pendidikan Kesehatan adalah penanggung jawab yang menyelenggarakan satuan pendidikan kesehatan.
5. Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan adalah penanggung jawab organisasi profesi di bidang kesehatan.
6. Produsen atau Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya adalah penanggung jawab produksi dan distribusi susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya.
7. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah ...
- 3 -
8. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Setiap Tenaga Kesehatan wajib:
a. melaksanakan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam, jika tidak ada kontra indikasi medis;
b. menempatkan ibu dan bayi dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung, jika tidak ada kontra indikasi medis yang ditetapkan oleh dokter;
c. memberikan informasi dan edukasi ASI Eksklusif kepada ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi yang bersangkutan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI Eksklusif selesai;
d. tidak memberikan susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya, kecuali atas indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi;
e. memberikan peragaan dan penjelasan tentang penggunaan dan penyajian susu formula bayi kepada ibu dan/atau keluarga, dalam hal pemberian ASI Eksklusif tidak memungkinkan sesuai indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi;
f. tidak menerima dan/atau mempromosikan susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif;
g. tidak menerima hadiah dan/atau bantuan dari produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya, kecuali untuk tujuan membiayai kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis, serta tidak ada kewajiban tertentu yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan berdasarkan keinginan pemberi bantuan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak; dan/atau
h. memberikan pernyataan tertulis kepada atasannya bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 3
Setiap Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib:
a. melaksanakan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam, jika tidak ada kontra indikasi medis;
b. menempatkan ibu dan bayi dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung, jika tidak ada kontra indikasi medis yang ditetapkan oleh dokter;
c. memberikan informasi dan edukasi ASI Eksklusif kepada Ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi yang bersangkutan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI Eksklusif selesai;
d. tidak memberikan susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya, kecuali atas indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi;
e. memberikan ...
- 4 -
e. memberikan peragaan dan penjelasan tentang penggunaan dan penyajian susu formula bayi kepada ibu dan/atau keluarga, dalam hal pemberian ASI Eksklusif tidak memungkinkan sesuai indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi;
f. tidak menerima dan/atau mempromosikan susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif;
g. tidak menyediakan pelayanan di bidang kesehatan atas biaya yang disediakan oleh produsen dan distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya;
h. tidak menerima hadiah dan/atau bantuan dari produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya, kecuali untuk tujuan membiayai kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis, serta tidak ada kewajiban tertentu yang harus dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan keinginan pemberi bantuan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak;
i. memberikan pernyataan tertulis kepada Menteri melalui Kepala Dinas Kesehatan setempat bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif; dan/atau
j. memberikan laporan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang gizi atas bantuan yang diterima dari produsen atau distributor.
Pasal 4
Setiap Penyelenggara Satuan Pendidikan Kesehatan wajib:
a. memberikan pernyataan tertulis kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan melalui Direktur Jenderal yang membidangi pendidikan tinggi, dengan tembusan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang gizi bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif;
b. tidak menerima hadiah dan/atau bantuan dari produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya, kecuali untuk tujuan membiayai kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis, serta tidak ada kewajiban tertentu yang harus dilakukan oleh Satuan Pendidikan Kesehatan berdasarkan keinginan pemberi bantuan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak; dan/atau
c. memberikan laporan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan melalui Direktur Jenderal yang membidangi pendidikan tinggi, dengan tembusan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang gizi atas bantuan yang diterima dari produsen atau distributor.
Pasal ...
- 5 -
Pasal 5
Setiap Pengurus Organisasi Profesi Bidang Kesehatan wajib:
a. tidak menerima hadiah dan/atau bantuan dari produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya, kecuali untuk tujuan membiayai kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis, serta tidak ada kewajiban tertentu yang harus dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan keinginan pemberi bantuan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak;
b. memberikan pernyataan tertulis kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang gizi bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif; dan/atau
c. memberikan laporan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang gizi atas bantuan yang diterima dari produsen atau distributor.
Pasal 6
Setiap Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya dilarang:
a. memberikan contoh produk susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya secara cuma-cuma atau bentuk apapun kepada penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, ibu hamil, atau ibu yang baru melahirkan;
b. menawarkan atau menjual langsung susu formula bayi ke rumah-rumah;
c. memberikan potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian susu formula bayi sebagai daya tarik dari penjual;
d. menggunakan tenaga kesehatan untuk memberikan informasi tentang susu formula bayi kepada masyarakat;
e. mengiklankan Susu Formula Bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, dan media luar ruang, kecuali media khusus kesehatan;
f. memberikan hadiah dan/atau bantuan kepada tenaga kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan termasuk keluarganya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif; dan/atau
g. tidak memberikan laporan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang gizi atas bantuan yang diberikan kepada tenaga kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan termasuk keluarganya.
BAB ...
- 6 -
BAB II
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengenaan Sanksi Administratif
Pasal 7
(1) Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 6 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan izin.
(3) Pengenaan sanksi teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dikenakan kepada tenaga kesehatan.
(4) Pengenaan sanksi teguran lisan, dan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dikenakan kepada Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dikenai oleh:
a. kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, tempat dimana pelanggaran ditemukan;
b. Menteri untuk pelanggaran yang dilakukan oleh;
1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak memberikan pernyataan tertulis tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif terhadap bantuan yang diterima, dan tidak memberikan laporan atas bantuan yang diterima dari Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya;
2) Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan yang tidak memberikan pernyataan tertulis tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif terhadap bantuan yang diterima, dan tidak memberikan laporan atas bantuan yang diterima dari produsen atau distributor; dan
(3) Produsen ...
- 7 -
3) Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya yang tidak memberikan laporan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang gizi atas bantuan yang diberikan kepada tenaga kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan termasuk keluarganya.
c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan untuk Penyelenggara Satuan Pendidikan yang tidak memberikan laporan atas bantuan yang diterima dari produsen atau distributor.
(6) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dikenai oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Paragraf 1
Laporan Dugaan Pelanggaran
Pasal 8
Dugaan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 6 terjadi berdasarkan laporan yang berasal dari:
a. pengaduan; dan
b. hasil monitoring dan evaluasi.
Pasal 9
(1) Laporan berdasarkan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dapat dilakukan oleh pelapor:
a. perorangan;
b. kelompok; dan/atau
c. institusi/lembaga/instansi/organisasi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan administrasi:
a. peristiwa yang dilaporkan terjadi setelah diundangkannya Peraturan Menteri ini;
b. peristiwa yang dilaporkan tidak dimaksudkan untuk penyelesaian atas tuntutan ganti rugi;
c. pelaporan dilakukan secara tertulis; dan
d. belum pernah dilaporkan dan/atau diperiksa.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit:
a. identitas pelapor, meliputi nama lengkap, alamat lengkap, nomor kontak (telepon, faksimili, atau email) yang dapat dihubungi (jika ada), dan kedudukan;
b. nama dan alamat lengkap pihak yang diadukan;
c. perbuatan ...
- 8 -
c. perbuatan yang diduga melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 6;
d. waktu pelanggaran dilakukan;
e. alasan pengaduan (kronologis peristiwa yang diadukan);
f. keterangan yang memuat fakta, data, atau petunjuk terjadinya pelanggaran; dan
g. nama saksi-saksi dan keterlibatannya.
(4) Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota tempat dimana pelanggaran ditemukan, Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin wajib menjamin kerahasiaan identitas pelapor sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kecuali untuk kepentingan penegakan hukum.
Pasal 10
(1) Laporan berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dapat dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota tempat dimana pelanggaran ditemukan, Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin.
Pasal 11
(1) Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota tempat dimana pelanggaran ditemukan, Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, membentuk tim panel yang bersifat ad hoc untuk menindaklanjuti laporan.
(2) Tim panel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima) orang yang berasal dari:
a. 2 (dua) orang dari dinas kesehatan kabupaten/kota, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin;
b. 1 (satu) orang dari organisasi profesi/asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan; dan
c. 2 (dua) orang unsur ahli.
(3) Tim panel dalam melaksanakan tugas dibantu oleh sekretariat, yang bertugas:
a. menerima dan meneliti laporan yang diajukan oleh pelapor;
b. mengembalikan laporan yang tidak lengkap kepada pelapor untuk dilengkapi;
c. mencatat ...
- 9 -
c. mencatat dalam buku registrasi dan menyampaikan laporan yang telah lengkap kepada tim panel;
d. menyiapkan bahan dan jadwal pemeriksaan bagi tim panel; dan
e. membuat risalah rapat tim panel.
Paragraf 2
Pemeriksaan
Pasal 12
(1) Tim panel menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan melakukan pemeriksaan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah laporan diterima.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa verifikasi, klarifikasi dan investigasi terhadap laporan.
Pasal 13
(1) Tim panel melakukan verifikasi atas persyaratan administrasi dan data pendukung dari laporan.
(2) Selain memenuhi persyaratan administrasi, pelapor juga harus melengkapi laporan dengan data pendukung yang berupa:
a. alat bukti yang dimiliki; dan
b. pernyataan tentang kebenaran pelaporan.
(3) Pemberian data pendukung laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah laporan terdaftar.
Pasal 14
(1) Klarifikasi terhadap laporan dilakukan untuk memeriksa keabsahan dan kebenaran pelaporan.
(2) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim panel.
Pasal 15
(1) Dalam melakukan klarifikasi, tim panel dapat meminta kelengkapan atas kekurangan dokumen pengaduan kepada pelapor.
(2) Untuk kepentingan klarifikasi, pihak-pihak yang terkait harus memberikan informasi, surat atau dokumen yang terkait dengan peristiwa yang dilaporkan, dan alat bukti lainnya yang diperlukan.
Pasal 16
Laporan dapat dicabut atau dibatalkan oleh pelapor sebelum dilakukan investigasi.
Pasal 17
(1) Investigasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan alat bukti yang berkaitan dengan peristiwa yang dilaporkan.
(2) Investigasi ...
- 10 -
(2) Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. kunjungan lapangan;
b. surat menyurat; dan/atau
c. media komunikasi lainnya.
Pasal 18
(1) Dalam melakukan investigasi, tim panel dapat meminta informasi dan alat bukti yang berkaitan dengan peristiwa yang dilaporkan kepada:
a. pelapor;
b. terlapor atau pendamping terlapor;
c. pihak lain yang terkait.
(2) Kegiatan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertutup.
Pasal 19
(1) Bukti-bukti yang dapat diperoleh oleh tim panel dalam melakukan investigasi dapat berupa:
a. surat-surat dan/atau dokumen-dokumen;
b. keterangan saksi-saksi;
c. keterangan ahli; dan/atau
d. pengakuan terlapor.
(2) Bukti-bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi tim panel, untuk memberikan rekomendasi kepada Pejabat yang berwenang dalam memberikan sanksi atau pemberitahuan kepada pelapor bahwa tidak ada pelanggaran.
Paragraf 3
Pengenaan Sanksi
Pasal 20
(1) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditemukan adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 6, kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin mengenakan sanksi teguran lisan.
(2) Setiap teguran lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali, untuk jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja.
(3) Teguran lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam bentuk tertulis.
Pasal ...
- 11 -
Pasal 21
(1) Apabila sampai dengan berakhirnya teguran lisan ketiga Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya yang terkena sanksi administratif tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin mengenakan sanksi teguran tertulis.
(2) Sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perintah:
a. kewajiban melakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 2 sampai dengan Pasal 6; dan/atau
b. tidak melakukan ketentuan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 2 sampai dengan Pasal 6.
(3) Setiap teguran tertulis dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali, untuk jangka waktu masing-masing 14 (sepuluh) hari kerja.
Pasal 22
(1) Apabila sampai dengan berakhirnya teguran tertulis ketiga Tenaga Kesehatan yang terkena sanksi administratif tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, Menteri, atau menteri/kepala lembaga terkait yang mengeluarkan izin mengenakan sanksi pencabutan izin.
(2) Tata cara pengenaan sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Pemeriksaan dihentikan apabila Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya yang melakukan pelanggaran, telah membuktikan dengan surat pernyataan dan bukti-bukti yang mendukung bahwa yang bersangkutan telah mematuhi ketentuan dan menghentikan kegiatan yang dilarang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 6.
(2) Tim panel berdasarkan laporan penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan rapat tim panel untuk memutuskan penghentian proses pemeriksaan laporan.
(3) Penghentian proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin.
Pasal ...
- 12 -
Pasal 24
(1) Bagi Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya yang dalam pemeriksaan tim panel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 19 mengakui pelanggaran yang dilakukannya, kepada Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya tersebut tetap dikenai peringatan tertulis 1 (satu) kali.
(2) Dalam hal anggota Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya terbukti mengulangi kembali pelanggaran terhadap ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 6, Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya tersebut dijatuhkan sanksi administratif sebagaimana diatu dalam Pasal 7 ayat (2).
Pasal 25
(1) Dalam hal Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya tidak terbukti melakukan pelanggaran, tim panel memberikan pertimbangan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin untuk memulihkan nama baik Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya yang diduga melakukan pelanggaran.
(2) Pemulihan nama baik Tenaga Kesehatan, Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Penyelenggara Satuan Pendidikan, Pengurus Organisasi Profesi di Bidang Kesehatan, serta Produsen dan Distributor Susu Formula Bayi dan/atau Produk Bayi Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, Menteri, atau menteri/kepala lembaga terkait yang mengeluarkan izin mengenakan sanksi pencabutan izin.
Pasal ...
- 13 -
Pasal 26
(1) Pelapor atau terlapor dapat mengajukan keberatan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, atau kementerian/lembaga terkait yang mengeluarkan izin atas sanksi administrasi yang diterima.
(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai alasan keberatan.
(3) Jangka waktu pengajuan keberatan harus diajukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak sanksi administrasi diterima.
BAB III
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 27
Organisasi profesi bidang kesehatan harus memberikan advokasi, motivasi, dan inovasi untuk keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif melalui pendidikan, pelayanan, dan penelitian.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
NAFSIAH MBOI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 541

Jumat, 12 September 2014

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN



1.      Definisi
Hipertensi dalam kehamilan berarti bahwa wanita telah menderita hipertensi sebelum hamil, disebut juga sebagai pre – eklamsi tidak murni, superimposed pre – eklamsi bila disertai dengan proteinuria dan edema (Sofian, 2013)
2.      Observasi
Observasi penting yang mencerminkan pemahaman baru mengenai gangguan hipertensi dalam kehamilan meliputi :
                                  1            Kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada wanita yang memiliki tekanan darah normal atau memperburuk hipertensi yang sudah ada.
                                  2            Kondisi hipertensi dikelompokkan berdasarkan tanda dan gejala tertentu serta waktu terjadinya saat kehamilan.
                                  3            Istilah hipertensi akibat kehamilan kadang digunakan untuk menggambarkan ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah tetapi tidak mengalami proteinuria atau edema.
                                  4            Hipertensi yang terjadi sebelum kehamilan atau terjadi sangat awal dalam kehamilan meningkatkan insiden komplikasi, baik pada ibu maupun janin  dengan resiko kematian 10 kali lipat lebih besar.
                                  5            Saat hipertensi diketahui terjadi sebelum konsepsi atau sebelum usia kehamilan minggu, hipertensi cenderung kronis
                                  6            Peningkatan tekanan darah yang terjadi pada pertengahan kehamilan ( usia kehamilan 20 – 28 minggu ) dapat disebabkan pre eklamsi awal. Yang jarang terlihat sebelum usia kehamilan 24 minggu. Hipertensi trensien, yang pulih dengan cepat  setelah pelahiran atau hipeertensi kronis yang tidak disadari oleh ibu hamil dan akan menetap lebih dari 12 minggu pascapartum.
                                  7            Resiko janin pada kehamilan dengan hipertensi meliputi retriksi pertimbuhan janin, abrupsio plasenta, gawat janin, kelahiran premature dan berat badan lahir rendah  disertai morbiditas dan mortalitas perinatal berikutnya.
                                  8            Hipertensi ensensial  dan prekelamsi  tidak memiliki etiologi dan patofisiologi yang sama dan harus dibedakan secara cermat. (Kennedy, Ruth, & Jean Martin, 2014)
3.      Sebab Terjadinya Hipertensi Dalam Kehamilan
Penyebab Hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah :
1.    Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami vasokontriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2.    Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
a)    Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau atom/molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya  terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi  oksidan pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamian disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel, juga akan merusak nucleus, dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi anti oksidan.
b)    Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, missal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relative tinggi. Perksidan lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diseuruh tubuh daam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
c)    Disfungsi sel endotel   
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel.
3.    Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada  plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinaya reaksi inflamasi.
4.    Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehinggapembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipert ensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan  yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
5.    Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia  beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia ke II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termaksud minyak hati halibut dapat mengurangi risiko preeclampsia.
6.    Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga msih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana ada preeklampsia terjadi peningkatan stresoksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif kan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofobls juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi juh lebih besar, dibanding reaksi inflamsi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktifasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala pada preeklampsia pada ibu.
.          
4.      Diagnosis
Tabel: Kriteria Diagnostik Yang Digunakan Pada Diagnosis Gangguan Hipertensi Penyulit Kehamilan
Tipe Hipertensi
Kriteria Diagnostik
Makna
Hipertensi Gestasional
·         Awitan baru hipertensi, umumnya setelah usia kehamilan 20 minggu.
·         Hipertensi didefinisikan sebagai:
ü  TD sistol ≥40 mmHg
ü  TD Diastol ≥ 90 mmHg
·         Menggantikan istilah PIH
·         Diagnosis bersifat retrospektif.
·         Nilai tekanan darah kembali ke normal seperti sebelum hamil saat 12 minggu pasca partum.
·         Pikirkan tentang oksigenasi dan perfusi
Pre Ekalmpsia
·         Hipertensi Gestasional disertai proteinuria gestasinal pada wanita yang memiliki tekanan darah normal sebelum hamil.
·         Proteinuria gestasional diartikan sebagai:
ü  > 300 mg pada spesimen acak
ü  ≥ 1+ pada dipstik
·         Pada kondisi tidak terjadi proteinuria, curigai jika terdapat hal-hal berikut:
ü  Sakit kepala
ü  Penglihatan kabur
ü  Nyeri abdomen
ü  Pemeriksaan lab abnormal
Berat
·         Diagnosis preeklampsia diserta paling sedikit satu kriteria berikut:
ü  TD Sistol ≥ 160 mmHg
ü  TD Daistol ≥ 110 mmHg
ü  Proteinuria > 2 g/24 jam
ü  Kreatinin serum > 1,2 mg/dl ( kecuali diketahui pernah meningkat sebelumnya)
ü  Trombosit <100.000
ü  Peningkatan laktat dehidrogenase (hemolisis)
ü  Peningkatan ALT atau AST
ü  Gangguan serebral/visual, sakit kepala yang persisten
ü  Nyeri epigastrik persisten

·         Salah satu pasien yang paling sakit
·         Peningkatan resiko komplikasi
·         Kriteria tambahan untuk diagnosis dapat meliputi:
ü  Oliguria yang didefinisikan sebagai pengeluaran urine <500 ml/24 jam
ü  Edema paru
ü  Gangguan fungsi hati yang tidak jelas etiologinya
ü  IUGR
ü  Oligohidramnion
ü  Kejang grand mal (eklampsia)
Sindrom HELLP
·         Diagnosis berdasarkan pada adanya:
ü  Hemolisis
ü  Peningkatan enzim hati
ü  Trombosit rendah
·         Hemolisis
ü  Apus perifer abnormal
ü  Laktat dehidrogenase >600 U/I
ü  Bilirubin total ≥ 1,2 mg/dl
·         Peningkatan enzim hati
ü  AST serum > 70 unit/l
ü  Laktat dehidrogenase >600 U/I
·         Trombosit rendah < 150.000
·         Bentuk pre ekalmpsia berat
·         Diagnosis lab
·         Gangguan oksigenasi dan perfusi
·         Keparahan penyakit, morbiditas/mortalitas, dan pemulihan terkait kadar trombosit
ü  < 150.000 tetapi >100.000
ü  < 100.000 tetapi > 50.000
ü  < 50.000
Eklampsia
·         Diagnosis pre ekalmpsia
·         Kejadian kejang
·         Tidak ada kemungkinan etiologi kejang yang lain
·         Pasien sakit kritis
·         Beresiko mengalami hemoragi serebral dan aspirasi
·         Aturan Foley 13:
ü  13 % kematian
ü  13% abrupsio
ü  13% kejang setelah terapi MgSO4
ü  13% kejang terjadi >48 jam pasca partum
Hipertensi kronis
·         Hipertensi didefinisikan:
ü  TD sistol ≥140 mmHg
ü  TD Diastol ≥ 90 mmHg
·         Hipertensi
ü  Sudah ada dan dapat diobservasi sebelum kehamilan
ü  Didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu
ü  Menetap lebih dari 12 minggu pasca partum
·         Diagnosis tidak diketahui
·         Meningkatkan risiko abrupsio pada kehamilan
Superimposed preeklampsia
·         Diagnosis berdasarkan pada munculnya ≥ 1 kejadian berikut pada wanita yang mengalami hipertensi kronis.
ü  Awitan baru proteinuria
ü  Hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu
ü  Peningkatan proteinuria yang tiba-tiba
ü  Peningkatan TD yang tiba-tiba ( sebelumnya terkontrol baik)
ü  Peningkatan ALT atau AST ke kadar yang abnormal
ü  trombositopenia
·         prognosis buruk pada ibu dan bayi
·         mengharuskan pemantauan ketat
·         penetapan waktu pelahiran ditentukan melalui pengkajian kesejahteraan ibu janin yang menyeluruh bukan hasil akhir yang baku.
(Kennedy et al., 2013)
5.      Jenis Hipertensi
a.       Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang terdeteksi pertama kali setelah pertengahan kehamilan, umumnya setelah kehamilan 20 minggu. Beresiko terjadinya mortalitas janin karena peningkatan insidens pelahiran premature. Salah satu penyebab umum kematian maternal  di Negara berkembang(Kennedy et al., 2014).
Disebut sebagai hipertensi gestasional pada kehamilan jika hipertensi pertama kali terdiagnostik saat kehamilan, bersifat sementara, tidak berkembang menjadi preeklampsia dan ibu hamil memiliki tekanan darah normal saat 12 minggu pasca partum. Didiagnisis sebagai hipertensi kronis jika peningkatan tekanan darah menetap lebih dari 12 minggu pascapartum.
b.      Pre Eklampsia/eklampsia
Pre eklampsi merupakan perkembangan hipertensi gestasional yang ditandai dengan gangguan pada ginjal, yang dibuktikan dengan awitan proteinuria. Preeklampsia, baik yang tergolong ringan maupun berat, didiagnosis berdasarkan temuan pada ibu ataupun janin. Peningkatan tekanan darah gestasional didefinisikan sebagai TD sistol sebesar 140 mmHg atau lebih pada ibu yang memiliki tekanan darah normal sebelum usia kehamilan 20 minggu. Terjadi lebih awal pada molahidatidosa atau hidrops (penyakit tropoblas plasenta).
1)      Etiologi
Belum diketahui dengan pasti, namun teori yang sering dipakai adalah “ iskemia plasenta “  namun teori ini belum menerangkan dengan jelas penyebab penyakit seperti
a)      Frekuensi tinggi pada : primigravida, molla hidatidosa, gmelli, hidramion
b)      Bertambang sering seiring tuanya kehamilan, umumnya trimester III
c)      Penyakit mengalami perbaikan  bila terjadi kematian janin dalam kandungan
d)     Frekuensi lebih rendah pada kehamilan berikutnya
e)      Penyebab timbulnya konvulsi, edema dan koma
(Sofian, 2013)
2)      Perubahan organ
a)      Otak
Pada PE aliran darah dan pemakaian oksigen dalam batas normal, pada eklamsi  resistensi pembuluh darah meninggi, ini terjadi pula pada pembuluh darah otak. Edema yang terjadi pada otak dapat menimbulkan kelainan serebral dan gangguan visus, bahkan dalam keadaan lanjut dapat terjadi perdarahan
b)      Plasenta dan rahim
Aliran darah menurun keplasenta menyebabkan gangguan plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan pada janin dank arena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada PE dan eklamsi sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaanya terhadap rangsangan  sehingga terjadi partus prematurus
c)      Ginjal
Filtrasi glomerolus berkurang oleh karena aliran ginjal menurun. Hal ini meyebabkan filtrasi natrium melalui glomerolus menurun sehingga akibatnya terjadi retensi garam dan air. Filtrasi glomerolus dapat turun sampai 50 % dari normal sehingga pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria dan anuria.
d)     Paru – paru
Kematian ibu pada PE dan eklamsi biasanya disebabkan oleh edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa pula terjadi aspirasi pneumonia atau abses paru
e)      Mata
Dapat dijumpai edema retina dan spasme pembuluh darah. Bila terdapat hal – hal tersebut  maka harus dicuriagai terjadinya PEB. Pada eklamsi dapat terjadi ablasio retina yang edema intra okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan
3)      Klasifikasi PE
a)      PER
·         TD 140/90 dalam posisi berbaring atau kenaikan diastolic 30 mmHg , kenaikan diastolic 15 mmHg, diperiksa minimal 2 kali dengan jarak periksa 1 jam
·         Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan BB 1 kg/minggu
·         Protein urine kuantitatif 0,3 gr / lebih, kualitatif  1+, 2+ pada urine kateter
·         Pengobatan hanya bersifat simtomatis, priksa 2 kali seminggu
·         Penanganan :  istirahat ditempat tidur, diit rendah garam dan berikan obat – obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari / fenobarbital tablet 30 mg 3 kali sehari
·         Dierutik  dan obat anti hipertensi tidak dianjurkan, karena dapat menutupi tanda & gejala PE
·         Bila gejala menetap, monitor keadaan janin : kadar estriol urin, lakukan amnioskopi, dan USG. Bila keadaan mengijinkan dilakukan induksi  pada uk 37 minggu
b)      PEB
·         TD 160/110 mmHg atau lebih
·         Protein urine 5 gr/lebih
·         Oliguria, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc/24 jam
·         Gangguan serebral, gangguan visus dan nyeri epigastrium
·         Terdapat edema paru dan cianosis
·         PEB dengan UK dibawah 37 minggu
o   Injeksi Sulfas Magnesikus 8 gr IM, lanjutkan  4 gr IM setiap 4 jam
o   Monitor ibu
o   Jika tidak ada perbaikan, dilakukan terminasi kehamilan
·         PEB dengan UK diatas 37 minggu
o   Bedrest total
o   Diit rendah garam dan tinggi protein
o   Injeksi MgSO4 8 gr IM, 4 gr boka – boki
o   Injeksi dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam
o   Syarat pemberian MgSO4 : reflex patella +,  dieresis 100 cc dalam 4 jam terakhir, respirasi 16 x/menit, harus tersedia  antidotum yaitu kalsium glukonas 10% dalam 10 cc
o   Infuse dekstrosa 5 % dan RL
o   Diuretic tidak diberikan kec, terjadi edema paru dan kegagalan jantung kongestif,. Inj 1 amp lasix
o   Induksi partus
o   Percepat persalinan kala II, ibu dilarang mengedan
o   Jangan berikan methergin kec ada perdarahan pp
                                                         a.            Screning
                                  1            Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta mengenali tanda – tanda sedini mungkin PER, lalu diberikan pengobatan yang cukup sehingga penyakit tidak bertambah berat
                                  2            factor presdiposisi :
·         Mola hidatidosa
·         Diabetes mellitus
·         Gmelli
·         Hidrop fetalis
·         Obesitas
·         Umur lebih dari 35 tahun
(Sofian, 2013)
·         Primi muda
·         Kehamilan kedua tetapi dengan suami baru
·         Bumil memiliki riwayat  (hipertensi, sindrom nefrotik, penyakit ginjal polikistik,)
·         Ras kulit hitam berusia diatas 35 tahun
·         Mendertita penyakit kolagen vaskuler (lupus / syndrome  antibody posfolifid)
·         Riwayat hipeternsi pada kehamilan sebelumnya
(Kennedy et al., 2014)
                                  3            Berikan penanganan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan serta pentingnya mengatur diet rendah garam, rendah lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein juga kenaikan berat badan yang berlebihan
(Sofian, 2013)
                                  4            Menghitung tekanan arteri rata – rata pada trimester ke dua untuk memperkirakan resiko dan morbiditas serta mortalitas terkait
                                  5            Menggunakan uji tekanan supin (roll-over test) dilakukan pada usia kehamilan 28 – 32 minggu untuk mendeteksi  sensitivitas unik ibu hamil terhadap zat vasopresor dalam system sirkulasinya melalui pengkajian tekanan darah  saat ibu berbaring miring dan kemudian telentang. Uji skrining ini tidak berisi hasil secara konsisten dapat diprediksi, diproduksi kembali dan reliable serta tidak boleh digunakan untuk memprediksi resiko pre eklamsi pada ibu hamil.
Karena criteria skrining yang reliable tidak tersedia, penekanan pada praktik klinis  harus terletak pada pengkajian criteria diagnostic yang akurat dan tepat waktu
A.    Patofisiologi
                                  1            Vasokontriksi arteri umum dianggap dapat menyebabkan penurunan aliran darah melalui plasenta dan organ maternal
                                  2            Kondisi ini dapat mnyebabkan retardasi atau restriksi pertumbuhan intrauterine, infark plasenta, dan solusio plasenta

Pada PE terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsy ginjal ditemukan spasme hebat pada arteriola glomerolus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh 1 sel darah merah, jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan ferifer agar oksigenasi jaringan dapat terpenuhi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan  dalam ruangan interstial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Protein urine dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerolus (Sofian, 2013)
PE merupakan gangguan multisystem yang spesifik pada plasenta. Patologi primer depek pada perkembangan plasenta. Proses fisiologis normal melibatkan sel – sel trofoblas  yang diturunkan dari embrio/janin yang meyerang lapisan desidua dan pembuluh darahnya, khususnya dinding arteriol pembuluh darah uterus. Invasi ini tampak dalam pembesaran arteriol spiralis yang progresif dan significan di lapisan endometrium. Hasil akhir pada PE adalah ketidak mampuan pembuluh darah uterus  untuk mengakomodasi peningkatan aliran darah yang diperlukan seiring pertambahan usia kehamilan, manifestasi klinis  dari gangguan ini menjadi jelas  saat unit plasenta janin memiliki suplai darah yang terlalu banyak.
B.     Komplikasi
                                  1            Solusio plasenta
                                  2            Syndrom HELP
                                  3            Koagulopati
                                  4            IUFD
                                  5            Kejang
                                  6            Koma
                                  7            Persalinan premature
                                  8            Gagal ginjal
                                  9            Kerusakan hati ibu
(Williams & Wilkins, 2012)

Eklampsia:
Eklampsia merupakan aktifitas kejang atau koma pada ibu hamil yang terdiagnosis hipertensi gestasional dan preeklampsi, tanpa riwayat patologi neurologi sebelumnya.
Ibu hamil yang mengalami eklampsia disertai sindrom help sering mengalami kondisi berikut:
·         Persalinan prematur
·         Usia kehamilan lebih awal
·         Berat badan lahir rendah
·         Skor apgar rendah
·         Morbiditas dan mortalitas perinatal lebih tinggi
Kematian ibu lebih sering disebabkan kondisi berikut:
·         Abropsio plasenta
·         Hemoragi serebral
·         Gagal ginjal akut atau gagal jantung
·         DIC
Penanganan kejang:
Kejang eklamptik umumnya dapat sembuh sendiri, dan berlangsung selama 1-2 menit. Perawatan cepat saat kejang adalah dengan memberikan terapi penunjang dan memastikan kepatenan jalan napas. Setelah kondisi ini dicapai, oksigenasi yang adekuat harus dipertahankan dengan menggunakan oksigen tambahan. Terapi penunjang dilanjutkan dan berfokus pada peminimalan resiko aspirasi, peminimalan risiko aktivitas kejang berulang, dan pengontrolan tekanan darah. Setelah kondisi pasien semakin stabil, manajemen diarahkan pada pelahiran bayi. 
Aspirasi merupakan penyebab utama morbiditas ib setelah kejang eklamptik. Ibu harus berada dalam posisi dekubitus lateral (berbaring miring) untuk meminimalkan risiko aspirasi jika muntah terjadi. Peralatan jalan napas darurat, termasuk pengisapan harus siap tersedia.
3. Pre Eklampsia yang menyertai hipertensi kronis
Kejadian preeklampsia pada wanita yang memasuki kehamilan disertai hipertensi yang sudah ada atau Preeklampsia yang menyertai hipertensi kronis. Janin berisiko lebih tinggi mengalami restriksi pertumbuhan dibanding pada kondisi preeklampsia atau hipertensi kronis saja.

4.      Hipertensi Kronis
a.       Pengertian
Hipertensi yang terjadi dan dapat diobservasi sebelum kehamilan, atau hipertensi yang terdiagnosis pertama kali saat kehamilan dan menetap lebih dari 84 hari pasca partum.
b.      Faktor predisposisi:
·         Wanita hamil dengan usia yang lebih tua
·         Dari semua hamil yang mengalami hipertensi kronis, sebesar 90% menderita hipertensi primer (essensial)/hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya.
·         Penyakit ginjal
·         Dua sampai tiga kali lebih tinggi pada wanita Afrika-Amerika dibanding wanita kulit putih.
Etiologi
c.       Etiologi hipertensi kronik dapat dibagi menjadi :
1.      Primer (idiopatik) : 90 %
2.      Sekunder : 10%, yang berhubungan dengan penyakit ginjal, penyakit endokrin (diabetes melitus), penyakit hipertensi dan vascular
d.      Diagnosis  
Diagnosis pada hipertensi kronik bila ditemukan pada pengukuran tekanan darah ibu ≥ 140/90 mmhg sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan mencapai 20 minggu serta didasarkan atas faktor risiko yang dimiliki ibu, yaitu : pernah eklampsia, umur ibu > 40 tahun, hipertensi > 4 tahun, adanya kelainan ginjal, adanya diabetes mellitus, kardiomiopati, riwayat pemakaian obat anti hipertensi. Diperlukan juga adanya pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium ( darah lengkap, ureum, kreatinin, asam urat, SGOT, SGPT ), EKG, Opthalmology, USG).
Dahulu direkomendasikan bahwa yang digunakan sebagai kriteria diagnosis adalah peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 30 mmhg atau diastolik 15 mmhg, bahkan apabila angka absolut dibawah 140/90 mmhg. Kriteria ini tidak lagi dianjurkan. Namun, wanita yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmhg atau diastolik 15 mmhg perlu diawasi dengan ketat.
e.       Komplikasi pada ibu dan janin
Pada wanita hamil yang mengalami hipertensi kronik terjadi peningkatan angka kejadian stroke. Selain itu komplikasi lain yang sangat mengkhwatirkan yaitu terjadinya superimposed preeclampsia dimana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi hepar, gagal ginjal, serta tendensi timbulnya perdarahan yang meningkat dan perburukan kearah eclampsia.
Pada janin sendiri dapat terjadi bermacam – macam gangguan sampai kematian janin dimana efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita hamil akan merusak sistem vaskularisasi darah, sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan nutrisi melalui plasenta dari ibu ke janin. Hal ini bisa menyebabkan prematuritas plasental dengan akibat pertumbuhan janin yang lambat dalam rahim, bahkan kematian janin.
f.        Penanganan Umum
·         Istirahat cukup
·         Mengatur diet, yaitu meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung protein dan mengurangi makanan yang mengandung karbohidrat serta lemak.
·         Kalau keadaan memburuk namun memungkinkan dokter akan mempertimbangkan untuk segera melahirkan bayi demi keselamatan ibu dan bayi
  g.  Penatalaksanaan
1) Risiko rendah hipertensi
·         Ibu sehat dengan desakan diastolik menetap ³100 mmHg
·         Dengan disfungsi organ dan desakan diastolik ³ 90 mmHg
2)  Obat antihipertensi
Alasan utama untuk mengobati hipertensi pada kehamilan adalah untuk mengurangi morbiditas ibu terkait hipertensi. Sebuah metaanalisis termasuk 28 uji acak membandingkan pengobatan dengan antihipertensi baik dengan plasebo maupun tanpa pengobatan menunjukan bahwa pengobatan dengan antihipertensi secara signifikan mengurangi hipertensi berat. Namun pengobatan tidak mengurangi resiko preeklamsia berlapis, abrupsi plasenta atau pembatasan pertumbuhan janin, juga tidak memberikan manfaat pada neonatus. Obat-obat antihipertensi kronis  yang dapat digunakan pada masa kehamilan yaitu:
·         Metildopa, sebuah agonis reseptor alfa yang bekerja sentral, dosis sebesar 250-1500 mg dua kali perhari peroral. Metildopa sering digunakan sebagai terapi lini pertama, data jangka panjang menunjukan keamananya pada keturunan.
·         Labetalol, yang merupakan kombinasi alfa dan beta bloker. Dosis 2x100-1200 mg peroral. Sering menjadi terapi lini pertama. Obat ini dapat memperburuk asma. Formulasi intravena tersedia untuk pengobatan darurat hipertensi.
·         Metoprolol, sebuah beta bloker dengan dosis 2x25-200 mg peroral. Obat ini dapat memperburuk asma dan kemungkinan berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin. Beta bloker lainnya misal: pindolol dan propranolol dapat dipakai secara aman. Beberapa ahli merekomendasikan untuk menghindari penggunaan atenolol.
·         Nifedipin (kerja panjang), sebuah pemblok kanal kalsium. Dosis 30-120 mg perhari. Nifedipin kerja cepat tidak direkomendasikan untuk terapi ini, mengingat kemungkinan resiko hipotensi. Pemblok kanal kalsium lainnya dapat digunakan secara aman.
·         Hidralazin, merupakan sebuah vasodilator perifer. Dosis 50-300 mg perhari dalam dosis terbagi 2 atau 4. Sediaan hidralazin intravena tersedia untuk terapi darurat hipertensi.
·         Hidroklorotiazid, sebuah diuretik dengan dosis 12,5-50 mg sekali perhari. Ada kekhawatiran sehubungan penggunaan obat ini, namun tidak ada data studi yang mendukung.
·         Metildopa, sebuah agonis reseptor alfa yang bekerja sentral, dosis sebesar 250-1500 mg dua kali perhari peroral. Metildopa sering digunakan sebagai terapi lini pertama, data jangka panjang menunjukan keamananya pada keturunan.
·         Labetalol, yang merupakan kombinasi alfa dan beta bloker. Dosis 2x100-1200 mg peroral. Sering menjadi terapi lini pertama. Obat ini dapat memperburuk asma. Formulasi intravena tersedia untuk pengobatan darurat hipertensi.
·         Metoprolol, sebuah beta bloker dengan dosis 2x25-200 mg peroral. Obat ini dapat memperburuk asma dan kemungkinan berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin. Beta bloker lainnya misal: pindolol dan propranolol dapat dipakai secara aman. Beberapa ahli merekomendasikan untuk menghindari penggunaan atenolol.
·         Nifedipin (kerja panjang), sebuah pemblok kanal kalsium. Dosis 30-120 mg perhari. Nifedipin kerja cepat tidak direkomendasikan untuk terapi ini, mengingat kemungkinan resiko hipotensi. Pemblok kanal kalsium lainnya dapat digunakan secara aman.
·         Hidralazin, merupakan sebuah vasodilator perifer. Dosis 50-300 mg perhari dalam dosis terbagi 2 atau 4. Sediaan hidralazin intravena tersedia untuk terapi darurat hipertensi.
·         Hidroklorotiazid, sebuah diuretik dengan dosis 12,5-50 mg sekali perhari. Ada kekhawatiran sehubungan penggunaan obat ini, namun tidak ada data studi yang mendukung.
Metildopa merupakan agen antihipertensi yang paling banyak didukung dengan data penelitian tentang khasiat dan keamanan penggunaannya pada wanita hamil. Obat ini telah digunakan sejak tahun 1960-an. Dalam sebuah studi, metildopa tidal menimbulkan efek yang merugikan pada anak-anak yang dilahirkan. Karenanya metildopa sering dijadikan sebagai terapi lini pertama hipertensi pada wanita hamil. Namun, metildopa sering menyebabkan kantuk yang membatasi tolerabilitasnya.
B.     Kewenangan bidan terkait hipertensi dalam kehamilan
Kewenangan bidan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan terdapat dalam lingkup standar pelayanan kebidanan khususnya pada standar 7, yaitu:
Standar 7      : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan mengenal tanda serta gejala preeklampsia lainnya, serta mengambil tindakan yang tepat dan merujuknya.
C.    HTA Terkait Hipertensi kehamilan
Temuan berbasis bukti pada manajemen klinis hipertensi kronis:
·         Strategi manajemen tekanan darah prakonsepsi yang spesifik untuk memastikan manfaat atau efek yang membahayakan terhadap konsepsi atau kondisi akhir kehamilan belum pernah diteliti.
·         Ibu yang menderita hipertensi tingkat 1 atau tingkat 2 (didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140 sampai 179 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 sampai 109 mmHg) memilki risiko komplikasi kardiovaskular yang rendah selama kehamilan.
·         Ibu yang menderita hipertensi essensial, tingkat 1 atau tingkat 2 dengan fungsi ginjal yang normal merupakan kandidat untuk memperoleh terapi tanpa obat, Saat ini tidak ada data yang mendukung perbaikan hasil akhir perinatal pada kelompok ini yang mendapat terapi antihipertensi.
·         Jika ibu sedang mendapat terapi antihipertensi pada saat kunjungan prenatal awal, terdapat kesepakatan yang kurang mengenai apakah agens antihipertensi harus dilanjtkan atau dihentikan. Penggunaan agens antihipertensi dapat bermanfaat bagi ibu untuk menurunkan tekanan darah; namun, tekanan yang rendah dapat mengganggu perfusi uteroplasenta yang menyebabkan gangguan janin.
·         Perawatan ibu yang mengalami hipertensi kronis serupa dengan manajemen antenatal yang rutin, dengan penekanan pada pengkajian untuk mengidentifikasi perburukan hipertensi atau disfungsi end-organ ( salah satu ujung saraf sensoris yang besar dan berselubung, seperti korpuskulum saraf lamellar, taktil, atau terminal).
·         Penggunaan penghambat ACE dikontraindikasikan karena agens ini menyebabkan IUGR, oligohidramnion, gagal ginjal pada bayi baru lahir, dan kematian bayi baru lahir. Walaupun data mengenai penggunaan antagonis reseptor angiotensin II saat kehamilan  tidak tersedia, efek merugikan cenderung serupa dengan penghambat ACE; agens ini harus dihindari.
D.    Tinjauan Islam Terkait Hipertensi dalam Kehamilan
Dalam hal ini hipertensi dalam kehamilan merupakan penyakit dalam kehamilan yang membuat ibu hamil merasa lemah. Hampir semua organ reproduksi maupun organ lainnya mengalami perubahan dan semua itu membuat wanita hamil merasa tidak nyaman. Maka telah dijelaskan dalam surah Luqman ayat 14 yang maknanya, ibu adalah yang mengandung, melahirkan, menderita karena hamil, serta melalui proses melahirkan yang sangat melelahkan. Maka dianjurkan pada tiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan agar berbuat baik pada ibu bapaknya. ( Al-Azazi, Adil bin Yusuf, 2007).
Lingkungan dapat mempengaruhi kondisi kehamilan. Alquran menyatakan bahwa faktor eksternal merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses kehamilan. Hal ini terlihat dari ayat yang menceritakan gugurnya seluruh kandungan dalam rahim ibu, karena kegoncangan yang sangat dahsyat yang dialami pada hari kiamat, yang merupakan faktor eksternal. Dalam ayat berikut ini dinyatakan:
Pada hari kamu melihat goncangan itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya, dan gugurlah kandungan segala perempuan yang hamil, dan kamu lihat seluruh manusia dalam keadaan mabk, padahal mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangatlah kerasnya. (QS. Al-Hajj: 22).
Dengan demikian, alquran telah memperlihatkan bahwa kondisi eksternal dapat mempengaruhi kondisi kehamilan.
Lebih lanjut, Alquran jga menyatakan bahwa ada hukum sebab akibat atau ukuran yang menentukan kesempurnaan dan ketidaksempurnaan kandungan ibu. Dalam alquran dinyatakan:
Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. Yang mengetahui segala ghaib dan yang tampak; yang maha besar lagi maha tinggi. ( QS. Al-Ra’ad:8-9).
Beberapa faktor eksternal tidak hanya dapat mendatangkan keguguran, namun juga ketidaksempurnaan dari bayi yang dikandungnya.
Selain itu kondisi emosional ibu, asupan gizi dan usia ibu juga mempengaruhi kehamilan. Sehubungan dengan pentingnya kondisi maternal ibu, Alquran telah menyatakan kewajiban ayah untuk memberikan dukungan kepada ibu, baik pada saat kehamilan maupun menyusui. Ayat tersebut berbunyi:
...dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ib menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian... ( QS. Al-Baqarah:233).
(Hasan, 2006)